VISUALISASI KEGIATAN



Kamis, 30 Januari 2014

BAB 01 – THAHARAH (fiqih lima mazhab)

BAB 01 – THAHARAH

 Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah. Tidaklah berlebihan jika saya katakan, tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya menjadi suci.” Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT:“… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu …. ” (Q.S. Al-Anfal : 11) “… dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ….” (Q.S. Al-Furqan: 48) Thahur (pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu: a.                    Air Muthlaq dan Air Musta’mab.                    Air Mudhaf. Air MuthlaqAir muthlaq ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya. Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang berbunyi: “Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya.” Air Musta’malApabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta’mal. Air semacam itu hukumnya najis, ka­rena telah bersentuhan dengan benda najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis. Para ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jia tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.  Air musta’mal telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum ‘at, hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta’mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang. Catatan:Apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi’i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta’mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.1 Air MudhafAir Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu suci, tetapi tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini me-rupakan kesepakatan semua mazhab kecuali Hanafi yang mem­bolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan, selain minyak, tetapi bukan sesuatu yang berubah karena dimasak. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari Imamiyah. Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang tidak bolehnya berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan kitab Majma’ Al-Anhar.2 Hanafi berkata : “Seseorang musafir harus (boleh) berwudhu’ dengan air perahan dari pohon kurma.” 1 Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid I, hal 22 cetakan ketiga dan ibnu Abidin , I;hal. 140 cetakan Al-Maimaniyah.2 Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma AlrAnhar, hal 37, cetakan Istambul Ibnu Qudamah menyebutkan,3 bahwa mazhab Hanafi membolehkan berwudhu’ dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata: “Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar.” Hanafi mengambil dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu, dari ayat Al-Qur’an : “Maka jika tidak ada air, hendaklah kamu tanyammum dengan debu yang bersih..” (Q.S. Al-Maidah :6) Menurut Hanafi, makna ayat itu adalah: Jika tidak ada air muthlaq dan air mudhaf, maka bertayammumlah. Tetapi jika ada air mudhaf, maka tayammum tidak dibolehkan. Mazhab lain berdalil dengan ayat ini juga untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata bahwa kata al-ma’u di dalam ayat itu maksudnya air muthlaq saja, tidak mencakup air mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah : 6) adalah:  “Apabila tidak ada air muthlaq, maka bertayammumlah….” Air Dua KullahSemua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan baunya karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq atau pun mudhaf. Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersentuhan dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari bangkai itu bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya tetap suci.Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain, berpendapat: Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya.Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa yang digolongkan ba­nyak itu adalah dua kullah, seperti yang disebutkan oleh hadis: “Apabila air sampai dua kullah, maka ia tidak najis”. Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata: Yang disebut banyak itujika sampai satu karra, sebagaimana Hadis: “Apabila air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis. “ Satu karra sama dengan 1200 kali Iraq. Kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: Yang disebut banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra, dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadis: “Air itu pada dasarnya suci. la tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah warna, rasa, dan baunya. Tetapi hadis di atas bersifat umum, sedangkan hadis dua kullah atau karra bersifat khusus, dan khusus mesti didahulukan daripada umum. Imam Hanafi juga tidak memberikan ukuran dengan dua kullah dan karra, tetapi diukur dengan sistem gerakan sebagaimana tersebut di muka. Saya sendiri tidak mendapati penentuan dengan “ge­rakan” ini secarajelas atau athardi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Catatan:Syafi’i dan Imamiyah berkata: Cairan lain seperti cuka dan minyak, menjadi najis bila tersentuh najis, sedikit atau banyak, berubah atau tidak. Inilah yang dimaksud oleh ushul syara’, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang telah dikenal: “Apabila air itu sampai dua kullah maka tidaklah menajiskannya sesuatu “.Air itu ialah air muthlaq. Hanafi berkata: Hukum cairan selain air seperti air muthlaq, sedikit ataupun banyak. Sedikit najis yang menyentuh akan men-jadikan najis jika air berjumlah sedikit, dan tidak najis jika air itu banyak. Di dalam Hasyiah Ibnu Abidin44 Ibnu Abidin, I, hal. 130, cetakan AI-Maimaniyah. Hukum cairan itu seperti air menurut asalnya. Dengan demikian, jika ke dalam air perahan yang jumlahnya banyak bertumpah air kencing, maka air perahan itu menjadi najis; begitu pula darah, kaki pemerah tidaklah menajiskannya. Air Mengalir dan Air TenangMazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Hanafi berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh kebawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan diatas bumi.55 Ibnu Abidin, l, hal. 131. Hanafi menolak pendapat bahwa kedua macam air dibawah ini, tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan najis, yakni: Pertama: Air tenang yang bila digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak. Kedua: Air mengalir dengan jalan apapun. Adapun air sedikit yang tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis, maka keadaannya seperti air tenang yang jumlahnya sedikit, yang jika digerakkan di satu bagian, bagian lain-nya ikut bergerak. Mazhab Syafi’i tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak ialah dua kullah: Bila bersentuhan dengan najis ia tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua kullah akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan hadis: “Apabila air sebanyak dua kullah, ia tidak membawa najis. “ Syafi’i berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua kullah dan tidak berubah walaupun ia bercampur barang najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai dua kullah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis, sedangkan yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan pendapat antara Syafi’i dan Hanafi dalam hal air mengalir itujauh sekali. Hanafi berpendapat, bahwa “mengalir” itu walaupun sedikit, ada sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di muka: Yakni sebuah bejana yang berisi air bersih, dan bejana lain yang berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur denganjalan dialirkan. Sedangkan Syafi’i tidak memperlihatkan jalan bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syafi’i, sekalipun sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis tetap najis hukumnya. Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari bagian lainnya. Hambali berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan benda najis, kecuali berubah. Hukum-nya seperti air yang jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan pendapat Hanafi. Adapun Maliki, seperti telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan de­ngan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnya, mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik sedikit mau” pun banyak, memancar atau tidak.Imamiyah berkata: Tidak ada tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak. Jika air itu berhubungan dengan air pancaran (mata air) walaupun perlahan maka dianggap air itu sama hu­kumnya seperti air banyak. la tidak menjadi najis dengan bersen­tuhan dengan najis, walaupun jumlah air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada kekuatan pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan dengan mata air, maka jika jum­lahnya satu karra (dua kullah) tidak menjadi najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali jika berubah salah satu sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai satu karra, maka air itu menjadi najis bila bersentuhan dengan najis, baik ia mengalir ataupun tidak. Hanya saja, apabila mengalir, bagian atas air itu tidaklah najis.  Air Menyucikan NajisApabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imam Syafi’i berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua kullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, danjika air itu dipisahkan ,tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah, maka air tersebut suci dan menyucikan.6 Hambali dan kebanyakan fuqaha Imamiyah berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya menjadi dua kullah, baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena mengumpulkan air najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci. Begitu pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis. Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau dengan air pancaran menurut mazhab Imamiyah, sedangkan mazhab Hambali mewajibkan sampai dua kullah. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis, maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi. Imamiyah berkata: Jika tidak ada mata air pada air yang banyak itu, maka tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya; bahkan setelah hilang perubahannya kita masih harus memasukkan satu karra air suci ke dalamnya, atau menghubungkannya dengan mata air, atau ia bercampur sendiri dengan air hujan. Jika pada air itu ada mata air, maka ia suci dengan hilangnya perubahan yang terjadi, sekalipun sedikit. Maliki berpendapat: Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga hilang sifat najis itu. Hanafi berpendapat: Air yang najis itu menjadi bersih dengan cara mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam bejana, ke­mudian dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari tepi-tepinya, maka menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di dalam kolam atau lubang, kemudian digali lubang lain meskipun jaraknya dekat, dan dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga semua air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci. Jika air kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang lain dan mengalir­kannya hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu seterusnya. Oleh karena itu, air yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhu ketika ia tenang, dapat anda gunakan dengan cara mengalirkannya dengan cara apapun. Bahkan,jika ada bangkai sekalipun didalamnya, atau orang kencing di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air itu mengalir dan diketahui bahwa air itu tidak berhubungan dengan mata air, jika dialirkan, maka air itu menjadi suci. Najis-Najis
  1. Anjing: najis, kecuali mazhab Maliki yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali ber­kata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Imamiyah ber­kata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air.

  1. Babi: Semua mazhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan mernbasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali de­ngan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).

  1. Bangkai: Semua mazhab sepakat, bahwa bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakannya suci. Hanafi berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. Begitu juga pendapat Imamiyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan semua mazhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci.

  1. Darah: Keempat mazhab sepakat bahwa darah adalah najis ke­cuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tinggi) Imamiyah berkata: Semua darah hewan yang darahnya mengalir, juga darah manusia yang mati syahid atau bukan, adalah najis. Sedangkan darah binatang yang tidak me­ngalir darahnya, baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada persembelihan, hukumnya suci.

  1. Mani: Imamiyah, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imamiyah mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imamiyah berpendapat, rnani dan darahnya suci, Syafi’i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi, Hambali berpendapat mani anak Adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.

  1. Nanah: Najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.

  1. Kencing: Air kencing dan kotoran anak Adam adilah naps me­nurut semua mazhab.

  1. Sisa Binatang: Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang daging­nya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang da­gingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang da­gingnya tidak dimakan misalnya serigala, dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan ko­toran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu, semuanya najis. Imamiyah berkata: Sisa-sisa burung yang dagingnya di­makan ataupun tidak, semuanya suci; begitu juga hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya dimakan maupun tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya tidak dimakan seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya najis. Dan setiap binatang yang dagingnya diragukan halal-haramnya, maka sisanya suci hukumnya. Hanafi berkata: Sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisa­nya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis. Hambali dan Syafi’i berkata: Sisa-sisa binatang yang daging­nya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis.

  1. Benda cair yang memabukkan: Adalah najis menurut semua mazhab. Tetapi Imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada upaya menjadikan benda memabukkan yang cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal hukumnya tetap najis. Ada baiknya jika kita petik kata-kata salah seorang pengarang fuqaha Imamiyah: Ulama Sunnah dan Syi’ah sepakat tentang najisnya arak, kecuali sebagian dari kami dan sebagian dari mereka yang menyalahi ketentuan ini, dan mereka tidak diakui oleh kedua kelompok.

  1. Muntah: Hukumnya najis menurut empat mazhab dan suci me­nurut Imamiyah.

  1. Madzi dan Wadzi: Keduanya najis menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, serta suci menurut mazhab Imamiyah.
 Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis.Madzi adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing. Empat mazhab berpendapat bahwa muntah, madzi dan wadzi hukumnya najis, sedangkan Imamiyah berpendapat tidak. Bahkan Imamiyah satu-satunya mazhab yang berpendapat bahwa peluh orang yang junub, baik junub karena zina, liwat, dengan binatang, atau berusaha mengeluarkan mani dengan cara apa-pun, adalah najis. Sisa Air dalam BejanaHanafi, Syafi’i dan Hambali berkata: Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Mereka juga sepakat bahwa sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan. Hambali berkata: Tidak boleh berwudhu dengan sisa air dari semua binatang yang daging-nya tidak dimakan kecuali kucing hutan dan yang lebih kecil darinya seperd tikus dan Ibnu Am (hampir sama dengan tikus). Hanafi menghubungkan sisa anjing dan babi itu dengan sisa peminum arak segera setelah ia meminumnya. Begitu juga halnya sisa kucing setelah makan tikus, sisa binatang buas seperti singa, serigala, harimau binatang dan harimau belang, musang, dan al-dhubu”77 Ibnu Abidin, I: 156. Imamiyah berkata: Sisa air yang diminum binatang najis seperti babi dan anjing hukumnya najis. Sisa air yang diminum binatang bersih hukumnya suci, baik binatang yang dagingnya dimakan maupun tidak. Maliki berkata: Sisa air yang diminum anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum.8 Hukum Khalwat Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa menghadap Kiblat atau membelakanginya ketika berhajat, dalam lindungan atau tempat lapang yang ada pelindungnya, hukumnya tidak haram. Mereka berselisih pendapat tentang berhajat di tempat lapang yang tidak terlindung.  Syafi’i dan Hambali berpendapat tidak haram, sedangkan Maliki berpendapat haram. Hanafi berpendapat, bahwa makruh berhajat di dalam ruangan dan haram berhajat di tempat lapang sehubungan dengan membelakangi atau menghadap Kiblat. Imamiyah berkata: Haram menghadap Kiblat dan membela­kanginya baik dalam ruangan atau di tempat lapang, ada pelindung ataupun tidak. Semua mazhab sepakat bahwa air yang suci itu dapat menyu­cikan najis dari tempat keluar kencing dan tinja.  Empat mazhab berpendapat bahwa batu memadai untuk membersihkan keduanya. Imamiyah berpendapat: Tidak memadai menyucikan tempat keluar kencing kecuali dengan air. Adapun tempat keluar tinja, da­pat memilih di antara basuhan air dan sapuan dengan tiga biji batu atau potongan-potongan kain kecil yang suci, hal ini (pilihan yang kedua) dilakukan jika najis itu tidak mengalir dari tempat keluarnya, jika mengalir maka hendaknya dibersihkan dengan air.9 Batu dan sejenisnya untuk menyapu itu jumlahnya dipastikan pada mazhab Imamiyah, Syafi’i dan Hambali, walaupun dengan kurang dari tiga biji sudah bersih. Tetapi Maliki dan Hanafi tidak menganggap jumlah batu itu sebagai syarat, hanya saja ia mengharuskan menyuci­kan najis dari tempat keluarnya, dengan benda cair yang bersih selain air.

Rabu, 29 Januari 2014

MUTIARA HADIST

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Barangsiapa yang melapangkan suatu kesusahan dari beberapa kesusahan seorang Mu'min di dunia, maka Allah akan melapangkan untuknya suatu kesusahan dari berbagai kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang memberikan kemudahan kepada seorang yang kesukaran, maka Allah akan memberikan kemudahan padanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutupi cela seorang Muslim, maka Allah akan menutupi celanya di dunia dan di akhirat. Allah itu selalu memberikan pertolongan kepada hambaNya, selama hamba itu suka memberikan pertolongan kepada saudaranya. Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari suatu ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju ke Syurga. Tiadalah sesuatu kaum itu berkumpul dalam sebuah rumah dari rumah-rumah Allah -yakni masjid-, untuk membacakan kitab Allah -yakni al-Qur'an- juga mentadarusnya antara mereka itu -membaca secara bergantian-, melainkan turunlah kepada mereka ketenangan hati, ditutupi oleh kerahmatan Tuhan, juga diliputi oleh para malaikat dan Allah menyebutkan -membicarakan- mereka itu di kalangan makhluk yang ada di sisiNya. Barangsiapa yang diperlambatkan oleh amalan-nya sendiri, maka ia tidak akan dipercepatkan oleh keturunan darahnya -yakni bahwa kebahagiaan itu tergantung pada amalan diri sendiri dan bukan karena darah ningrat atau keturunan-." (Riwayat Muslim)

Selasa, 28 Januari 2014

keutamaan Shalat Dhuha

Keutamaan Shalat Dhuha Lengkap Dengan Doa dan Caranya keutamaan shalat dhuha doa shalat dhuha Sering kali kita sebagai umat muslim mendengar seruan untuk sholat Dhuha. Berbagai fadhilah dan manfaat serta keutamaan Shalat Dhuha yang sangat banyak membuat para ulama dan peceramah tidak henti-hentinya untuk menyampaikan dan mengajak untuk melaksanakan shalat Dhuha. Apakah pengertian dari shalat Dhuha ? Sholat dhuha adalah sholat sunat yang dikerjakan saat matahari terbit hingga terasa panas sebelum shalat Dzuhur atau sholat sunat yang di kerjakan di waktu pagi hari dari sekitar pukul tujuh sampai dengan pukul sebelas,. Kenapa sholat dhuha sangat utama? adalah Sholat dhuha yang mempunyai banyak sekali manfaat untuk kehidupan untuk dunia dan akhirat. Kali ini mari kita belajar bersama dan mencoba sedikit memberi gambaran tentang bagaimana cara mengerjakan Sholat dhuha, dan Doa apa yang sebaiknya di baca dalam sholat dhuha juga keutamaan yang akan di raih oleh orang yang mengerjakan sholat dhuha. Cara mengerjakan sholat dhuha Sebagai umat islam tentu kita harus tahu cara melaksanakan sholat dhuha, cara mengerjakan sholat dhuha ini kami ambilkan dair berbagai sumber yang mungkin bermanfaat dan tuntunan bagi para pelopor yang belum mengetahui atau yang belum lengkap mengenai tuntunan pelaksanaan sholat dhuha, tata cara dibawah ini mungkin bisa membantu teman2 untuk beristiqomah dalam melaksanakan sholat sunnah dhuha : Sholat Dhuha waktunya : sejak terbit matahari sampai dengan akan masukknya matahari di titik atau sekitar pukul 07.00 s/d 11.00 bbwi. Sholat Dhuha pelaksanaannya : dilaksanakan dua raka’at sekali salam jumlah roka’at Sholat Dhuha : paling sedikit 2 raka’at dan paling banyak 12 raka’at niat Sholat Dhuha : baca dalam hati usholli sunnatadh dhuha rok’ataini lil laahi ta’aalaa bacaan surat Sholat Dhuha : s.asy - syamsu dan. s.adl - dhuha atau surat apapun yang kita pahami hikmah Sholat Dhuha : diampuni kesalahan & dosanya, dilapangakan usaha - rezekinya, dimantapkan iman dan takwanya. Pelaksanaan Shalat Dhuha * niat shalat dhuha didalam hati berbarengan dengan takbiratul ihram : “ushallii sunnatadh-dhuhaa rok’ataini lillaahi ta’aalaa.” “aku niat shalat sunat dhuha dua rakaat, karena allah ta’alaa.” * membaca doa iftitah * membaca surat al-fatihah * membaca satu surat didalam al-quran - surat asy-syamsu - surat al-lailu - surat adh-dhuha - surat asy - syarch - (atau surat al-quran lainnya yang telah kita hafal) * ruku’ dan membaca tasbih tiga kali * i’tidal dan membaca bacaanya * sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali * duduk diantara dua sujud dan membaca bacaannya * sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali * setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian tasyahhud akhir setelah selesai maka membaca salam dua kali. Doa Sholat Dhuha Doa setelah sholat dhuha adalah sebagai berikut : a. bismillaahir rochmaanir rochim. … alhamdulillaahi robbil-aalamin. washsholaatu wassalaamu ‘alaa sayyidii muchammadin sholaatan tuwassi’u bihaa ‘alayyal-arzaaq, wayuchsinu bihaa liyal akhlaaq. allaahumma sholli ‘alaa sayyidii muchammadin yubaariku lii bihaa fiiamwaalii, wa yastaqimu bihaa achwaali wa’alaa aalihii wa aschaabihi wasallim ajma’iin (segala puji bagi allah tuhan seru sekalian alam. semoga sholawat serta salam tetap atas pemimpinku muhammad, yang dengan sholawat itu semoga dapat meluaskan rezeki atasku, dan membaikkan akhlaqku. ya allah limpahkan sholawat atas pemimpinku muhammad, yang dengan sholawat itu dapat memberkahi harta bendaku, dan meluruskan tingkah lakuku, dan atas keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya semoga engkau berikan keselamatan) b. alaahumma asbchtu wabika amsaitu wabika achyaa wabika amuutu wailaikan nusyuur. allahumma inni as-aluka khoiro haadzal-yaum, fatchahu wanashrohu wa nuurohu wabarokatahu. allahumma inni as-aluka khoiro haadzal-yaum wa khoiro maa fiihi, wa a’uudzubika min syarri haazal-yaum wa syarri maa fiihi. allahumma maa asbacha bii min-ni’matin au biachadin min cholqika faminka wachdaka laa syarika laka, falakal chamdu walakasy-syukru’alaadzaalika (ya allah atas nam-mu aku memasuksi waktu pagi, dan dengan-mu aku memasuki waktu sore, dengan-mu aku hidup dan dengan-mu pula aku mati, serta kepada-mu aku kembali digiring. ya allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu kebaikkan hari ini, pembukaannya, pertolonganya, cahanya, dan keberkahanya. ya allah, sungguh aku mohon kepadamu kebaikkan hari ini dan kebaikkan apa saja yang ada pada hari ini, dan aku berlindung kepada-mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan apa saja yang ada pada hari ini. ya allah, apapun macamnya nikmat yang aku rasakan pagi ini atau dengan siapapun dari makhluqmu aku bertemu pagi ini, maka semuanya dari engkau sendiri, tidak ada sekutu bagi-mu. segala puji dan sanjung serta syukur untuk-mu atas semuanya itu) c. allahumma innad dhuhaa – a dhuha uka, wal jamaala jamaa-luka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal qudrota qudrotuka, wal quwwaata quwwatuka, wal ishmata ishmatuka. allahumma inkaana rizqi fis-samaa-i fa-anzilhu, wainkaana fil-ardli fa akhrijhu, wainkaana mu’siron fayassirhu, wainkaana ba’iidan faqorribhu, wainkaana charooman fathohhirhu, bichaqqi dhuhaaika, wajaamalika, wabahaaika, waqudrotika, waquwwatika, waishmatika, aatini maa’ataita ‘ibaadakash-sholichiin. (ya allah sesungguhnya waktu dhuha adalah dhuha-mu, dan keindahan adalah keindahan-mu, dan kebagusan adalah kebagusan-mu, dan kemampuan adalah kemampuan-mu, dan kekuatan adalah kekuatan-mu, serta perlindungan adalah perlindungan-mu. ya allah apabila rizqiku berada dilangit maka mohon turunkanlah, bila di bumi mohon keluarkanlah, bila sulit mudahkanlah, bila jauh dekatkanlah, dan bila haram bersihkanlah, dengan haq dhuha-mu, keindahan-mu, kebagusan-mu, kemampuan-mu, kekuatan-mu dan perlindungan-mu, berikanlah kepadaku apa saja yang engkau berikan kepada hamba-hambamu yang sholeh) d. allahumma innii ujibu da’wataka washollaitu faridlotaka, wantasyartu kamaa amartanii, farzuqnii minfadllika rizqon chalaalan thoiyyban mubaarokaa, wa anta khoirur rooziqin (ya allah , sesungguhnya aku telah memenuhi panggilan-mu, dan aku telah sholat yang telah engkau wajibkan, serta aku telah menyabar berusaha sebagaimana yang telah engkau perintahkan, maka berilah aku rizqi dan keutamaan-mu berupa rizqi yang halal, yang baik dan barokah, dan engkau adalah sebaik-baiknya pemberi rizqi) e. allahumma yaa ghoniyu yaa chamid, yaa mubdiiu yaa mu’iid, yaa rochimu yaa waduud, aghnini bichalaalika ‘an charomik, wabithoo’atika ‘an ma’shiyatik, wabifadllika’anman siwaak. (ya allah, wahai dzat yang maha kaya dan terpuji, yang memulai dan mengembalikan, yang maha penyayang dan pengasih, kayakanlah aku dengan rizqi halal-mu jauh dari yang kau haramkan, berilah kami ketaatan untuk menjauhi maksiat kepada-mu, dan berilah kami dari keutamaanmu jauh selain kamu) f. allahumma ij’al ausa’a rizqika ‘allayya ‘inda kibari sinni wa inqithooi ‘umrii, laailaaha illaa anta subchaanaka inni kntu minadh-dhoolimiin. (ya allah, jadikanlah luasnya rizqimu kepadaku ketika di usia lanjut (tua)ku, dan akan putusnya umurku, tidak ada tuhan kecuali engkau sesungguhnya aku berada dalam golongan orang-orang yang aniaya) g. allahumma sholli wasallim wabaarik’alaa sayyidina muchammadin wa ‘alaa aalihii bi’adadi anwaa’irrizqi walfutuuchaat, yaa baasithu alladzii yabsuthur-rizqon liman yasyaa-ubughoiri chisaab. ubsuth ‘alaiyya rizqon min kulli jihatin min makhluuq, wa machdli babzlika wakaromika bighoiri chisaab (ya allah, limpahkan sholawat, keselamatan dan barokah kepada pemimpinku muhammad dan keluarga beliau, dengan sejumlah bilangan berbagai rezqi dan terbukanya rahmat, wahai dzat pelapang rizqi, yang melapangkanrizqi kepada siapapun yang dikehendaki tanpa perhitungan, lapangkanlah atasku rizqi dari segala arah dari perbendahaan ghoibmu dengan tanpa makhluq lain yang mencari-cari kesalahan (iri hati) hanya karena anugerah dan kemulian serta kedermawananmu dan kemuliaanmu yang tanpa perhitungan itu) h. subchaana robbika robbil-izzati ‘am maa yashifuun, wasalaamun ‘alalmursaliin, wal-chamdulillaahi robbil ‘aalamiin. (maha suci tuhan yang maha mulia dari segala apa yang mereka sifatkan, dan keselematan semoga dilimpahkan kepada para utusan, dan segala puji bagi allah tuhan seru sekalian alam) Keutamaan Sholat Dhuha Tentang keutamaan yang terkandung dalam sholat dhuha, disini kami sedikir menggambarkan rahasia dan keutamaan shalat dhuha hadits rasulullah muhammad saw yang menceritakan tentang keutamaan shalat dhuha, di antaranya: 1. Keutamaan Sholat Dhuha sedekah bagi seluruh persendian tubuh manusia dari abu dzar al-ghifari ra, ia berkata bahwa nabi muahammad saw bersabda: “di setiap sendiri seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. dan dua rakaat dhuha diberi pahala” (hr muslim). 2. Keutamaan Sholat Dhuha ghanimah (keuntungan) yang besar dari abdullah bin `amr bin `ash radhiyallahu `anhuma, ia berkata: rasulullah saw mengirim sebuah pasukan perang. nabi saw berkata: “perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!”. mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya). lalu rasulullah saw berkata; “maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya?” mereka menjawab; “ya! rasul saw berkata lagi: “barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.”(shahih al-targhib: 666) 3. Keutamaan Sholat Dhuha sebuah rumah di surga bagi yang rajin mengerjakan shalat dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits nabi muahammad saw: “barangsiapa yang shalat dhuha sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di surga.” (shahih al-jami`: 634) 4. Keutamaan Sholat Dhuha memeroleh ganjaran di sore hari dari abu darda’ ra, ia berkata bahwa rasulullah saw berkata: allah ta`ala berkata: “wahai anak adam, shalatlah untuk-ku empat rakaat dari awal hari, maka aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya”(shahih al-jami: 4339). dalam sebuah riwayat juga disebutkan: “innallaa `azza wa jalla yaqulu: yabna adama akfnini awwala al-nahar bi’arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika” (sesungguhnya allah `azza wa jalla berkata: “wahai anak adam, cukuplah bagi-ku empat rakaat di awal hari, maka aku akan mencukupimu di sore harimu”). 5. Keutamaan Sholat Dhuha pahala umrah dari abu umamah ra bahwa rasulullah saw bersabda: “barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. barang siapa yang keluar untuk melaksanakan shalat dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah…” (shahih al-targhib: 673). dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa nabi saw bersabda: “barang siapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna..” (shahih al-jami`: 6346). 6. Keutamaan Sholat Dhuha ampunan dosa “siapa pun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (hr tirmidzi) dengan mengetahui tata cara, niat dan keutamaan shalat dhuha diatas, semoga menjadi pedoman untuk selalu melaksanakan shalat sunah dhuha dengan benar. dengan niat karna allah, semoga mendapat pahala dan tempat yg baik di akhirat nanti. amin. Demikian Cara Sholat Dhuha Doa Sholat Dhuha serta Keutamaan Sholat Dhuha, semoga Cara Sholat Dhuha Doa Sholat Dhuha serta Keutamaan Sholat Dhuha ini bisa bermanfaat bagi anda.



Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
1
AL-AQIDAH ATH-THAHAWIYAH
Abu Ja’far At-Thahawi

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Al-‘Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath-Thahawi-di
Mesir-berkata: “Inilah penuturan keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menurut
mahdzab para ahli fiqih Islam: Abu Hanifah An-N
u’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub
bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani
Ridwanallahu
‘alaihim ajma’in,
beserta pokok-pokok keagamaan yang mere
ka yakini dan mereka gunakan untuk
beribadah kepada Allah
Rabbil ‘alamin.
1
1.
Kami menyatakan tentang tauhid kepada Alla
h, berdasarkan keyakinan semata-mata berkat
taufiq Allah: Sesungguhnya Allah itu Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya.
2.
Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya.
3.
Tiada sesuatupun yang dapat melemahkannya.
4.
Tiada yang berhak untuk diibadahi selain diri-Nya.
5.
Yang Maha Terdahulu tanpa berawal, yang Maha Kekal tanpa pernah berakhir.
6.
Tak akan pernah punah ataupun binasa.
7.
Tak ada sesuatupun yang terjadi,
melainkan dengan kehendak-Nya.
8.
Tak dapat digapai oleh pikiran, tak juga dapat dicapai oleh pemahaman.
9.
Tidak menyerupai makhluk-Nya.
10.
Yang Maha Hidup tak pernah mati, yang Maha Terjaga dan tak pernah tertidur.
11.
Mencipta tanpa merasa membutuhkan (kepada ciptaan-Nya), membagi rezeki tanpa
mengharapkan imbalan.
12.
Mematikan tanpa gentar dan Membangkitk
an (setelah mati) tanpa kesulitan.
13.
Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum mencipta. Dengan terciptanya
para makhluk, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Yang selalu tetap dengan sifat-sifat-
Nya semenjak dahulu tanpa berawal, dan ak
an terus kekal dengan
-Nya, sifat-sifat-Nya
selamanya.
14.
Nama-Nya
Al-Khaliq
sebagai Pencipta, tidaklah disandang-Nya baru setelah Dia menciptakan
makhluk-makhluk-Nya. Dan namanya
Al-Bari
(Yang Menjadikan) tidaklah diambil baru
seusai Dia menjadikan hamba-hamba-Nya.
1
Mukaddimah ini dikutip dari matan
Al-Aqidah Ath-Thahawiyah
dengan syarah dan komentar Syaikh Al-Albany.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
2
15.
Dia-lah pemilik sebutan
Al-Rabb
(Pemelihara), dan bukanlah Dia
Marhub
atau yang
dipelihara. Dia juga pemilik sebutan
Al-Khaliq
dan bukanlah Dia sebagai makhluk.
16.
Sebagaimana Dia adalah Dzat yang menghidupkan segala yang mati (
Al-Muhyi
), Dia-pun
berhak atas sebutan itu, dari sebelum menghidupkan mereka. Demikian juga Ia berhak
menyandang sebutan
Al-Khaliq
sebelum menciptakan mereka.
17.
Untuk itulah, Dia-pun berkuasa atas segala se
suatu, sementara segala sesuatu itu berharap
kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah,
dan Dia tidaklah membutuhkan sesuatu.
Firman-Nya: “
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.
” (
QS. Asy-Syura : 11
).
18.
Dia menciptakan makhluk dengan ilmu-Nya.
19.
Dia menentukan takdir atas mereka.
20.
Dia menuliskan ajal kematian bagi mereka.
21.
Tiada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya
sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia
mengetahui apa yang akan mereka kerj
akan, juga sebelum menciptakan mereka.
22.
Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk ta’at dan melarang mereka melakukan
maksiat.
23.
Segala sesuatu berjalan sesuai dengan takd
ir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya
itu pasti terlaksana. Tidak ada kehendak bagi hamba-Nya melainkan memang apa yang
dikehendaki-Nya. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki
tak akan terjadi.
24.
Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, memelihara dan mengayominya
karena keutamaan-Nya. Dia juga menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, menghinakan
seseorang dan menghukumnya berdasarkan keadilan-Nya.
25.
Seluruh makhluk berada di bawah kendali kehendak Allah di antara kemurahan, keutamaan,
dan keadilan-Nya.
26.
Dia mengungguli musuh-musuh-Nya dan tak tertandingi oleh lawan-lawan-Nya.
27.
Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya
, menolak ketetapan hukum-Nya, atau
mengungguli urusan-Nya.
28.
Kita mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang daripada-Nya.
29.
Sesungguhnya Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah hamba-Nya yang terpilih,
Nabi-Nya yang terpandang, dan Rasul-Nya yang diridlai.
30.
Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi
‘Alaihimu As-Sallam
.
31.
Dia pemimpin orang-orang bertakwa.
32.
Dia penghulu para Rasul.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
3
33.
Kekasih Rabb sekalian alam.
34.
Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.
35.
Beliau diutus kepada golongan jin secara umum dan kepada segenap umat manusia, dengan
membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang.
36.
Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah; berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak
diketahui
kaifiyah
(bagaimana)
nya,
diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani
oleh kaum mukminin dengan sebenar-benarn
ya. Mereka meyakininya sebagai kalam Ilahi
yang sesungguhnya. Bukanlah sebagai makhluk sebagaimana ucapan hamba-Nya.
Barangsiapa yang mendengarnya (mendengar bacaan Al-Qur’an) dan menganggap itu
sebagai ucapan makhluk, maka ia telah
kafir. Allah sungguh telah mencelanya,
menghinanya, dan mengancamnya dengan
Naar
(Neraka)
Saqar
. Allah berfirman:
Aku akan memasukkan ke dalam (Naar) Saqar.
” (
QS. Al-Muddatsir: 26
). Allah mengancam
mereka dengan
Naar Saqar
tatkala mereka mengatakan:
Ini (Al-Qur’an) tidak lain hanyalah perkataan manusia.
” (
QS. Al-Muddatsir : 25
). Dengan itu
kita pun mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (ucapan) Pencipta manusia dan
tidak menyerupai ucapan manusia.
37.
Barangsiapa yang mensifati Allah dengan kriteria-kriteria manusia, maka dia sungguh telah
kafir. Barangsiapa yang memahami hal ini niscaya dia dapat mengambil pelajaran. Akan
dapat menghindari ucapan yang seperti perkataan orang-orang kafir, dan mengetahui bahwa
Allah dengan sifat-sifat-Nya tidaklah seperti makhluk-Nya.
38.
Melihat Allah adalah hak pasti
(benar adanya) bagi Ahli Jannah (penduduk surga) tanpa
dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami
hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam Al-Qur’an:
Wajah-wajah (orang mukmin) pada
waktu itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada
Rabb mereka.
” (
QS. Al-Qiyamah: 22-23
).
Pengertian (sebenar)nya, adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah.
Setiap hadits shahih yang diriwayatkan da
lam persoalan itu, pengertian sesungguhnya
adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
4
mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa
nafsu kita.
39.
Sesungguhnya seseorang tidak akan selamat dalam agamanya, sebelum ia berserah diri
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang
yang mengetahuinya.
40.
Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan
kepada Allah.
41.
Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya
untuk pasrah, maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya untuk
memurnikan tauhid, menjernihkan ilmu pengetahuan dan membetulkan keimanan.
42.
Maka menjadilah ia orang yang terombang-ambing antara keimanan dan kekufuran,
pembenaran dan pendustaan, pengikraran dan pengingkaran. Selalu kacau, bimbang, tidak
bisa dikatakan ia membenarkan dan beriman,
tidak juga dapat dikatakan kafir dan ingkar.
43.
Tidak sah keimanan seseorang yang mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang
Rabb mereka, yang semata-mata ditegakka
n di atas prasangka (keragu-raguan)
menganggapnya sebagai ‘praduga’ atau takwil
dengan pemikirannya. Karena penafsiran
penglihatan
’ itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb,
haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran
dien/keyakinan kaum muslimin.
44.
Barangsiapa yang tidak menghindari penafian
Asma’
dan
shifat
Allah atau menyerupakan-
Nya dengan makhluk-Nya, dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri.
45.
Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat
Wahdaniyah
(Maha Tunggal), tersifati dengan sifat
Fardaniyah
(ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari
hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.
46.
Maha suci diri-Nya dari batas-batas dan di
mensi makhluk atau bagian dari makhluk,
anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah yang
mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.
47.
Mi’raj
(naiknya Nabi ke
Sidratul Muntaha
) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan
dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh kasarnya (jasmani) dalam keadaan sadar, dan juga ke
tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah-pun memuliakan beliau dan
mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan.
Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dilihatnya.
” (
QS. An-Najm: 11
).
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
5
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.
2
48.
Haudh
(telaga) Al-Kautsar yang dijadikan Allah kemuliaan baginya -dan pertolongan bagi
umatnya- adalah benar adanya.
49.
Syafa’at
yang diperuntukkan Allah bagi mereka adalah benar adanya sebagaimana
diriwayatkan dalam banyak hadits.
50.
Perjanjian yang diikatkan Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka
dilahirkan
-pent.
) adalah benar adanya.
51.
Semenjak zaman yang tak berawal, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan
masuk Jannah dan yang akan masuk Naar secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan
bertambah atau berkurang. Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah
Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah).
52.
Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi kodratnya, sedangkan
amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang
berbahagia dengan ketentuan kodratnya. Demikian juga orang yang celaka adalah yang
celaka dengan ketentuan kodratnya.
53.
Asal dari takdir adalah rahasia Ilahi yang tak diketahui hamba-hamba-Nya. Tak dapat
diselidiki baik oleh malaikat yang dekat
dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya.
Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga
keharaman, dan mempercepat penyelewengan.
Waspadai dan waspadailah seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-
bisikan tentang takdir tersebut. Sesungguhnya A
llah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar
tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang
mereka untuk mencoba menggapainya.
Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dip
erbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.
(
QS. Al-Anbiyaa’: 23
).
Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Dia laku
kan itu?”, berarti ia menolak hukum Al-
Qur’an. Barangsiapa menolak hukum Al-Qur’an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.
54.
Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang hatinya terang dari
kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Karena
ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu agama
-pent.
) dan ilmu
yang terselubung baginya (ilmu
ghaib
). Mengingkari ilmu yang pertama berarti kekufuran.
Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan itu hanyalah
2
Tambahan ini berasal dari matan
Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah
dengan komentar Al-Albani
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
6
terpatri dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari
mencari ilmu yang terselubung.
55.
Kita juga mengimani adanya
Al-Lauh Al-Mahfudz
,
Al-Qalam
, dan segala yang tercatat di
dalamnya.
56.
Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan
untuk terjadi, agar urusan itu batal, mereka tak akan mampu untuk mengubahnya.
Sebaliknya seandainya mereka berkumpul menghadapi urusan yang telah Allah tetapkan
untuk tidak terjadi, agar urusan itu terjadi, merekapun tidak akan mampu mengubahnya.
Qalam
(catatan) Allah telah ditetapkan untuk segala sesuatu yang akan terjadi sampai
datangnya Hari Kiamat.
57.
Sesuatu yang -ditakdirkan- tidak akan me
nimpa seorang hamba, maka tidak akan
menimpanya. Dan yang akan mengenainya, maka tidak akan meleset.
58.
Hendaknya seorang hamba tahu bahwa ilmu A
llah telah mendahului segala sesuatu yang
akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa
berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik
di langit maupun di bumi yang dapat
membatalkan, meralatnya, menghilangkannya
, mengubahnya, menggantinya, mengurangi,
ataupun menambahnya.
59.
Itulah buhul ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an
dan ke-
Rububiyyah
-an Allah
‘Azza wa Jalla
. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya
.” (
QS. Al-Furqan : 2
). Dan firman-Nya:
Dan ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku.
(QS. Al-Ahzab : 38).
60.
Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya.
Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya.
3
Karena lewat praduganya ia
telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi.
Akhirnya ia kembali dengan membawa dosa dan kedustaan.
61.
‘Arsy
dan
Kursiy
-Nya adalah benar adanya.
3
[Ungkapan ini terdapat juga dalam naskah aslinya sebagai berikut: “
Celakalah orang yang sesat dalam memahami takdir-Nya karena hatinya
yang sakit.
” Dalam naskah yang lain “
Celakalah orang yang hatinya sakit dalam memahami takdirnya.
” Yang tertulis di sini berasal dari
matan
AL-Aqidah Ath-Thahawiyyah
dengan syarah Al-Albany.].
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
7
62.
Dia tidak membutuhkan ‘
Arsy
-Nya itu dan apa yang ada di bawahnya. Dia menguasai segala
sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada
makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.
63.
Kita juga menyatakan dengan penuh keimanan dan penyerahan diri bahwa sesungguhnya
Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim
‘alaihis salam
sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi
Musa
‘alaihis salam
untuk berbicara dengan sebenar-benarnya.
64.
Kita mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para
Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
65.
Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum
muslimin dan kaum mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
dan membenarkan segala apa yang
beliau ucapkan dan beritakan.
66.
Kita tidak mempergunjingkan Alla
h dan tidak membantah (ajaran)
dien
Allah.
67.
Kita tidak menyanggah Al-Qur’an, dan bersaksi bahwa ia adalah
Kalam Rabbul ‘Alamin
,
diturunkan dengan perantaraan
Ruhul Amin
(Malaikat Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu
para Nabi yaitu Muhammad
shallallahu 'alaihi wa ‘ala alaihi
ajma’in (salaaman tasliman katsiran)
.
Ia adalah Kalam Ilahi yaitu yang tak akan dapat diserupakan dengan ucapan makhluk-
makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya se
bagai makhluk dan (dengan itu) tidak akan
menyelisihi Jama’ah kaum muslimin.
68.
Kita tidak mengafirkan Ahli Kiblat (kaum muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia
tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang diha
lalkan. Namun kita juga tidak mengatakan
bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya ba
gi orang yang melakukannya selama ia masih
beriman.
69.
Kita mengharapkan agar orang-orang yang berbuat
fajir
dari kalangan mukminin dapat
diampuni dosa-dosa mereka dan dimasukkan Jannah karena rahmat-Nya, namun kita tidak
menganggap mereka aman dari siksa-Nya.
70.
Merasa aman dari siksa, atau putus asa dari ampunan Allah, keduanya dapat mengeluarkan
dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya
71.
Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia
imani.
72.
Iman adalah [pembenaran dalam hati], pengakuan dengan lidah, dan pembuktian dengan
(amalan) anggota badan.
73.
Seluruh yang diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
berupa
ajaran syari’at adalah benar adanya.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
8
74.
Iman itu adalah satu bentuk. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya
4
adalah
sama.
Keutamaan di antara mereka diukur dengan
ketakwaan, rasa takut kepada Allah,
menghindari hawa nafsu, dan melakukan sesuatu yang lebih utama.
75.
Kaum mukminin seluruhnya adalah wali-wali
Ar-Rahman.
76.
Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling
ittiba’
dengan ajaran
Al-Qur’an.
77.
Pengertian Iman adalah: Beriman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-
Nya, Hari Akhir, dan Takdir baik maupun buruk, manis maupun pahit. Dan bahwa
kesemuanya berasal dari Allah.
78.
Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul.
Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.
79.
Para pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam
(bisa)
masuk
Naar
, namun mereka tak akan kekal di dala
mnya kalau mereka mati dalam keadaan
bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat
namun mereka menemui Allah (mati) dengan
menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan ke
pada kehendak dan keputusan Allah. Kalau
Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan
keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah
‘Azza wa Jalla
:
Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.
” (
QS. An-Nisa’: 48,
116
).
Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di
Naar
dengan keadilan-Nya.
Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan
syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu
mereka pun diangkat ke
Jannah-
Nya. Hal itu karena Allah adalah Wali bagi siapa yang
berma’rifah kepada-Nya, maka Dia pun tidak me
njadikan keadaan mereka di dunia dan di
akhirat sama seperti mereka yang tidak berma’
rifah kepada-Nya. Yaitu mereka yang luput,
tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak da
pat memperoleh hak kewalian-Nya. Wahai
Dzat yang menjadi Wali bagi Islam dan pe
meluknya, teguhkanlah kami bersama Islam
sehingga kami datang menghadap ke haribaan-Mu.
4
[Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam komentarnya terhadap Matan
Al-Aqidah Ath-Thahahiwah
menyatakan: ‘Ucapan beliau
“Pemilik
keimanan itu dilihat dari asal al-imannya adalah sama”
perlu diteliti lagi. Bahkan jelas kebatila
nnya. Justru mereka bertingkat–tingkat
dengan perbedaan yang mencolok. Iman para Rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian juga imannya
para khulafa’ur rasyidun dan para sahabat lainnya, tidaklah sama dengan generasi belakangan. Iman orang yang betul–betul berima
n
juga tak sama dengan iman orang fasik. Keterpautan itu, didasari dengan perbedaan apa yang di dalam hati, berupa pengenalan
terhadap Allah,
Asma’
dan
Shifat
-Nya dan apa–apa yang disyari’atkan bagi hamba-Nya. Itulah pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah.
Berseberangan dengan pendapat Al-Murji’ah dan yang sependapat dengan mereka,
Wallahul Musta’an.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
9
80.
Kami menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang Imam, baik yang shalih maupun yang
fasik dari kalangan Ahli Kiblat. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara
mereka.
81.
Kita tak dapat memastikan mereka, masuk
Jannah
atau
Naar
.
82.
Kita tak bisa bersaksi bahwa mereka itu kafir,
musyrik, maupun munafik, selama semua itu
tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita me
nyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah
Ta’ala
.
83.
Kita tidak boleh mengangkat pedang (berperang/menumpahkan darah) terhadap seorang
pun dari ummat Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam
, kecuali terhadap mereka yang wajib
diperangi.
84.
Kita juga tidak membolehkan memberon
tak terhadap pemimpin-pemimpin dan
Ulul ‘Amri
kita, meskipun mereka berbuat lalim. Kita tidak menyumpahi mereka dan tidak berlepas diri
dengan tidak taat kepada mereka. Kita berk
eyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang
dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, se
lama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat.
Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka da
n agar mereka dikaruniai kebaikan jasmani
maupun rohani.
85.
Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari sesuatu yang aneh,
perselisihan (yang didasari menyelisihi Al-Jama’ah
-pent.
) dan menghindari perpecahan.
86.
Kita mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan
khianat.
87.
Terhadap sesuatu yang masih samar ilm
unya bagi kita, kita mengucapkan
Allahu A’lam
.
88.
Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap
khuff
(sepatu) baik di waktu mukim maupun
safar
(bepergian). Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.
89.
Jihad dan ibadah haji dilakukan bersama
Ulul ‘Amri
, baik yang shalih maupun yang fasik,
hingga hari kiamat. Keduanya tak dapat diba
talkan dan dirusak oleh segala sesuatu.
90.
Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah
telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.
91.
Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk
hidup.
92.
Kita pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga
pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir kepadanya di dalam kubur tentang Rabb dan
agamanya berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
serta para
sahabat
Ridwanullahu ‘alaihim ajma’in
. Alam kubur adalah taman-taman
Jannah
atau
kubangan-kubangan
Naar
.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
10
93.
Kita juga mengimani Hari
Ba’ats
dan balasan amal perbuatan pada hari kiamat, kita juga
mengimani pendedahan (penyingkapan) amal perbuatan,
hisab
, pembacaan catatan amal,
ganjaran baik dan siksa,
shirat
dan
al-mizan
di Hari Kiamat.
94.
Jannah
dan
Naar
adalah dua makhluk Allah yang kekal, tak akan punah dan binasa.
Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lain dan
Allah-pun menciptakan penghuni bagi keduanya.
95.
Barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk masuk
Jannah
, maka itu adalah keutamaan dari-
Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk masuk
Naar
, maka itu adalah keadilan
dari-Nya. Masing-masing akan beramal
sesuai dengan apa yang menjadi ketetapan dari-Nya
dan akan kembali kepada apa yang menjadi ko
dratnya. Kebaikan dan keburukan seluruhnya
telah ditetapkan atas hamba-hamba-Nya.
96.
Kemampuan, yang dengan wujudnya datang kewajiban amal adalah semacam taufik yang
bukan merupakan kriteria mahkluk. Adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh,
potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, adalah persiapan sebelum
melakukan amalan. Dengan itulah hukum te
rsebut digantungkan, sebagaimana yang
difirmankan Allah:
Tidaklah Allah membebani seseorang
melainkan sebatas kesanggupannya.
“ (
QS. Al-Baqarah: 286
).
97.
Amal perbuatan hamba adalah makhluk Allah, namun juga hasil usaha hamba itu sendiri.
98.
Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Dan mereka pun memang
tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah
pengertian kalimat
Laa haula wa laa quwwata illa billah
. Kita mengatakan: tiada jalan bagi
seorang hamba dan tidak pula ia memiliki kebebasan beraktivitas, dan beranjak
meninggalkan maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Dan seorang pun tidak
memiliki kekuatan untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah,
melainkan dengan taufik-Nya.
99.
Segala sesuatu berlaku menurut kehendak, ilm
u, keputusan dan takdir-Nya. Dia berbuat
sekehendak-Nya, namun tidaklah sekali-kali Dia mendzhalimi hamba-Nya.
Tidaklah Dia ditanya tentang apa
yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang
(apa yang mereka perbuat).
” (
QS. Al-Anbiyaa’: 23
).
100.
Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.
101.
Allah
Ta’ala
mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
11
102.
Dia-lah yang memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejappun
(hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh
kepada Allah sekejappun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.
103.
Allah
Subahanahu wa Ta’ala
juga Murka dan Ridhla, namun tidak menyerupai satupun dari
makhluk-Nya.
104.
Kita mencintai para sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
, namun tidak berlebihan dalam
mencintai salah seorang di antaranya. Tidak
juga kita bersikap meremehkan terhadap
seorang pun dari mereka. Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa
yang menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam
kebaikan. Mencintai mereka adalah pengamalan
ad-dien
(agama), keimanan, dan ihsan.
Sementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.
105.
Kita mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
. Yang
pertama adalah Abu Bakr As-Shiddiq
radliyallahu 'anhu
sebagai sikap mengutamakan dan
mengunggulkan dirinya atas semua umat Islam.
106.
Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab
radliyallahu 'anhu
.
107.
Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan
radliyallahu 'anhu
.
108.
Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib
radliyallahu 'anhu
.
109.
Merekalah yang disebut dengan
Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun
dan para imam yang mendapat
petunjuk.
110.
Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni
Jannah
, kita akui sebagai penghuni Jannah berdasarkan persaksian Nabi
shallallahu 'alaihi wa
sallam
dan perkataan beliau yang benar. Mereka adalah: Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali,
Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubeir [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin
Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaid
ah Al-Jarrah --orang tepercaya umat ini--
radliyallahu 'anhum
.
111.
Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa
sallam
, istri-istri beliau yang bersih dari segala noda, serta anak cucu beliau yang suci dari
segala najis, maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.
112.
Para ‘ulama As-Salaf terdahulu [para sahabat
-pent.
] dan yang sesudah mereka dari kalangan
Tabi’in adalah pelaku kebaikan dan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul. Mereka semuanya
harus disebutkan kebaikannya. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak
berada di atas jalan mereka (para sahabat).
113.
Kita tidak mengutamakan salah seorangpun di antara para wali Allah di atas seorang Nabi
‘Alaihi As-Sallam
. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama
dibanding seluruh para wali.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library
12
114.
Kita mengimani adanya
karomah-karomah
mereka dan segala riwayat tentang mereka yang
dinukil dari para perawi yang tepercaya.
115.
Kita juga mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya
Ad-Dajjal
dan
turunnya Nabi ‘Isa
‘Alaihis Sallam
dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari
barat dan keluarnya
Ad-Daabbah
[salah satu tanda kiamat yaitu binatang yang dapat
berbicara seperti manusia
-pent.
] dari kediamannya.
116.
Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun
peramal, demikian juga setiap orang yang
mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum muslimin.
117.
Kita meyakini bahwa
Al-Jama’ah
adalah haq dan kebenaran, sementara
Al-Furqah
adalah
penyimpangan dan siksaan.
118.
Ad-Dien
(agama) Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu dienul Islam, Allah
berfirman:
Sesungguhnya agama (yang diridhlai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam.
” (
QS. Ali ‘Imran: 19
). Dia
juga berfirman:
Dan telah Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.
” (
QS. Al-Maidah: 3
).
Dan Islam itu berada di antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan, antara
menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifa
t-sifat makhluk dan me
nafikkan (meniadakan)
sifat-sifat itu, antara
Jabriyah
(kaum yang bersandar kepada takdir saja) dan
Al-Qadariyah
(kaum yang menolak takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus
asa dari rahmat Allah.
119.
Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun ba
tin. Kami berlepas diri --dengan kembali
kepada Allah-- dari setiap yang menyelisihi ap
a yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita
memohon kepada Allah untuk menetapkan diri
kita di atas keimanan, mematikan kita
dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam,
dan dari pendapat-pendapat yang beraneka ragam, dan mahdzab-mahdzab yang jelek,
seperti:
Mu’tazilah, Al-Jahmiyyah, Al
-Jabriyyah, Al-Qadariyyah,
dan lain-lain, dari kalangan
mereka yang menyelisihi
Al-Jama’ah
dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari
mereka. Dan mereka menurut kami ad
alah orang-orang sesat dan jahat.
Wa billahi Al-‘Ishmatu
wa At-Taufiq.