VISUALISASI KEGIATAN



Kamis, 13 Februari 2014

TATA CARA SHALAT DHUHA

Sholat Dhuha

Panduan Sholat Dhuha - Niat dan Bacaan Doa Sholat Dhuha
Sholat dhuha atau sholat sunah dhuha merupakan sholat sunah yang dikerjakan pada waktu dhuha. Waktu dhuha merupakan waktu dimana matahari telah terbit atau naik kurang lebih 7 hasta hingga terasa panas menjelang shalat dzhur. atau sekitar jam 7 sampai jam 11, tentunya setiap daerah berbeda, tergantung posisi matahari pada daerah masing-masing. Sholat dhuha sebaiknya dikerjakan pada seperempat kedua dalam sehari, atau sekitar pukul sembilan pagi. Sholat dhuha dilakukan secara sendiri atau tidak berjamaah (Munfarid)

Niat Sholat dhuha

Untuk niat sholat dhuha hampir sama dengan sholat sunah lainnya, yaitu sebagai berikut
Ushallii sunnatadh-dhuhaa rak’ataini lillaahi ta’aalaa
arti dalam bahasa Indonesia :
Aku niat shalat sunat dhuha dua rakaat, karena Allah.

Tata cara sholat dhuha

Tata cara sholat dhuha hampir sama dengan sholat sunah pada umumnya,
  1. Setelah membaca niat seperti yang telah tertulis diatas kemudian membaca takbir,
  2. Membaca doa Iftitah
  3. Membaca surat al Fatihah
  4. Membaca satu surat didalam Alquran. Afdholnya rakaat pertama membaca surat Asy-Syam  dan rakaat kedua surat Al Lail  
  5. Ruku’ dan membaca tasbih tiga kali
  6. I’tidal dan membaca bacaannya
  7. Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali
  8. Duduk diantara dua sujud dan membaca bacaanya
  9. Sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali
  10. Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir setelah selesai maka membaca salam dua kali. Rakaat-rakaat selanjutnya dilakukan sama seperti contoh diatas.

Jumlah rakaat sholat dhuha

Sholat dhuha dilakukan dalam satuan dua rakaat satu kali salam. Sementara itu untuk berapa jumlah maksimal sholat dhuha ada pendapat yang berbeda dari para ulama, ada yang mengatakan maksimal 8 rakaat, ada yang maksimal 12 rakaat, dan ada juga yang berbedapat tidak ada batasan.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perbedaan pendapat jumlah rakaat sholat dhuha silahkan simak penjelasan yang kami kutip dari konsultasi syariah di bawah ini
Pertama, jumlah rakaat maksimal adalah delapan rakaat. Pendapat ini dipilih oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalil yang digunakan madzhab ini adalah hadis Umi Hani’ radhiallaahu ‘anha, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya ketika fathu Mekah dan Beliau shalat delapan rakaat. (HR. Bukhari, no.1176 dan Muslim, no.719).
Kedua, rakaat maksimal adalah 12 rakaat. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanafi, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat lemah dalam Madzhab Syafi’i. Pendapat ini berdalil dengan hadis Anas radhiallahu’anhu
من صلى الضحى ثنتي عشرة ركعة بنى الله له قصرا من ذهب في الجنة
“Barangsiapa yang shalat dhuha 12 rakaat, Allah buatkan baginya satu istana di surga.” Namun hadis ini termasuk hadis dhaif. Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Mundziri dalam Targhib wat Tarhib. Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini gharib (asing), tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini.” Hadis ini didhaifkan sejumlah ahli hadis, diantaranya Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhis Al-Khabir (2: 20), dan Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah (1: 293).
Ketiga, tidak ada batasan maksimal untuk shalat dhuha. Pendapat ini yang dikuatkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Hawi. Dalam kumpulan fatwanya tersebut, Suyuthi mengatakan, “Tidak terdapat hadis yang membatasi shalat dhuha dengan rakaat tertentu, sedangkan pendapat sebagian ulama bahwasanya jumlah maksimal 12 rakaat adalah pendapat yang tidak memiliki sandaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafidz Abul Fadl Ibn Hajar dan yang lainnya.”. Beliau juga membawakan perkataan Al-Hafidz Al-’Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi, “Saya tidak mengetahui seorangpun sahabat maupun tabi’in yang membatasi shalat dhuha dengan 12 rakaat. Demikian pula, saya tidak mengetahui seorangpun ulama madzhab kami (syafi’iyah) – yang membatasi jumlah rakaat dhuha – yang ada hanyalah pendapat yang disebutkan oleh Ar-Ruyani dan diikuti oleh Ar-Rafi’i dan ulama yang menukil perkataannya.”
Setelah menyebutkan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, As-Suyuthy menyebutkan pendapat sebagian ulama malikiyah, yaitu Imam Al-Baaji Al-Maliky dalam Syarh Al-Muwattha’ Imam Malik. Beliau mengatakan, “Shalat dhuha bukanlah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi dengan bilangan tertentu yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, namun shalat dhuha termasuk shalat sunnah yang boleh dikerjakan semampunya.” (Al-Hawi lil fataawa, 1:66).
Kesimpulan dan Tarjih
Jika dilihat dari dalil tentang shalat dhuha yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam jumlah rakaat maksimal yang pernah beliau lakukan adalah 12 rakaat. Hal ini ditegaskan oleh Al-’Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi dan Al-’Aini dalam Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari. Al-Hafidz Al ‘Aini mengatakan, “Tidak adanya dalil –yang menyebutkan jumlah rakaat shalat dhuha– lebih dari 12 rakaat, tidaklah menunjukkan terlarangnya untuk menambahinya.” (Umdatul Qori, 11:423)
Setelah membawakan perselisihan tentang batasan maksimal shalat dhuha, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang benar adalah tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dhuha karena:
  1. Hadis Mu’adzah yang bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha?” Jawab Aisyah, “Ya, empat rakaat dan beliau tambahi seseuai kehendak Allah.” (HR. Muslim, no. 719). Misalnya ada orang shalat di waktu dhuha 40 rakaat maka semua ini bisa dikatakan termasuk shalat dhuha.
  2. Adapun pembatasan delapan rakaat sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang fathu Mekah dari Umi Hani’, maka dapat dibantah dengan dua alasan: pertama, sebagian besar ulama menganggap shalatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika fathu Mekah bukan shalat dhuha namun shalat sunah karena telah menaklukkan negeri kafir. Dan disunnahkan bagi pemimpin perang, setelah berhasil menaklukkan negri kafir untuk shalat 8 rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah. Kedua, jumlah rakaat yang disebutkan dalam hadis tidaklah menunjukkan tidak disyariatkannya melakukan tambahan, karena kejadian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan rakaat adalah peristiwa kasuistik –kejadian yang sifatnya kebetulan– (As-Syarhul Mumthi’ ‘alaa Zadil Mustaqni’ 2:54).

Doa sholat dhuha

Do’a Shalat Dhuha bahasa Arab :
Berikut ini merupakan bacaan doa sholat dhuha dalam bahasa arab
اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ
Do’a Shalat Dhuha bahasa indonesia
Sedangkan bagi yang belum bisa membaca tulisan Arab, bisa membaca tekst latin di bawah ini
Allahumma innadh dhuha-a dhuha-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ishmata ishmatuka. Allahuma inkaana rizqi fis samma-i fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa inkaana mu’asaran fayassirhu, wainkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana ba’idan fa qaribhu, bihaqqiduhaa-ika wa bahaaika, wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita ‘ibadakash shalihin.

Artinya doa sholat dhuha

Di bawah ini merupakan arti dari bacaan sholat dhuha
“Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Ya Allah, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”.
Semoga artikel mengenai panduan sholat dhuha yang dilengkapi dengan bacaan niat dan doa sholat dhuha di atas bisa bermanfaat bagi. Rajinlah sholat dhuha setiap pagi. Semoga selalu berlimpah pahala dari Allah SWT, mendapatkan rezki halal dan baik bagi dunia dan akhirat. Aamiin.

Rabu, 05 Februari 2014

kajian II Fiqih lima mashab

Air MudhafAir Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu suci, tetapi tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini me-rupakan kesepakatan semua mazhab kecuali Hanafi yang mem­bolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan, selain minyak, tetapi bukan sesuatu yang berubah karena dimasak. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari Imamiyah. Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang tidak bolehnya berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan kitab Majma’ Al-Anhar.2 Hanafi berkata : “Seseorang musafir harus (boleh) berwudhu’ dengan air perahan dari pohon kurma.” 1 Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid I, hal 22 cetakan ketiga dan ibnu Abidin , I;hal. 140 cetakan Al-Maimaniyah.2 Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma AlrAnhar, hal 37, cetakan Istambul Ibnu Qudamah menyebutkan,3 bahwa mazhab Hanafi membolehkan berwudhu’ dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata: “Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar.” Hanafi mengambil dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu, dari ayat Al-Qur’an : “Maka jika tidak ada air, hendaklah kamu tanyammum dengan debu yang bersih..” (Q.S. Al-Maidah :6) Menurut Hanafi, makna ayat itu adalah: Jika tidak ada air muthlaq dan air mudhaf, maka bertayammumlah. Tetapi jika ada air mudhaf, maka tayammum tidak dibolehkan. Mazhab lain berdalil dengan ayat ini juga untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata bahwa kata al-ma’u di dalam ayat itu maksudnya air muthlaq saja, tidak mencakup air mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah : 6) adalah:  “Apabila tidak ada air muthlaq, maka bertayammumlah….” Air Dua KullahSemua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan baunya karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq atau pun mudhaf. Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersentuhan dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari bangkai itu bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya tetap suci.Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain, berpendapat: Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya.Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa yang digolongkan ba­nyak itu adalah dua kullah, seperti yang disebutkan oleh hadis: “Apabila air sampai dua kullah, maka ia tidak najis”. Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata: Yang disebut banyak itujika sampai satu karra, sebagaimana Hadis: “Apabila air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis. “ Satu karra sama dengan 1200 kali Iraq. Kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: Yang disebut banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra, dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadis: “Air itu pada dasarnya suci. la tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah warna, rasa, dan baunya. Tetapi hadis di atas bersifat umum, sedangkan hadis dua kullah atau karra bersifat khusus, dan khusus mesti didahulukan daripada umum. Imam Hanafi juga tidak memberikan ukuran dengan dua kullah dan karra, tetapi diukur dengan sistem gerakan sebagaimana tersebut di muka. Saya sendiri tidak mendapati penentuan dengan “ge­rakan” ini secarajelas atau athardi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Catatan:Syafi’i dan Imamiyah berkata: Cairan lain seperti cuka dan minyak, menjadi najis bila tersentuh najis, sedikit atau banyak, berubah atau tidak. Inilah yang dimaksud oleh ushul syara’, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang telah dikenal: “Apabila air itu sampai dua kullah maka tidaklah menajiskannya sesuatu “.Air itu ialah air muthlaq. Hanafi berkata: Hukum cairan selain air seperti air muthlaq, sedikit ataupun banyak. Sedikit najis yang menyentuh akan men-jadikan najis jika air berjumlah sedikit, dan tidak najis jika air itu banyak. Di dalam Hasyiah Ibnu Abidin44 Ibnu Abidin, I, hal. 130, cetakan AI-Maimaniyah. Hukum cairan itu seperti air menurut asalnya. Dengan demikian, jika ke dalam air perahan yang jumlahnya banyak bertumpah air kencing, maka air perahan itu menjadi najis; begitu pula darah, kaki pemerah tidaklah menajiskannya. Air Mengalir dan Air TenangMazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Hanafi berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh kebawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan diatas bumi.55 Ibnu Abidin, l, hal. 131. Hanafi menolak pendapat bahwa kedua macam air dibawah ini, tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan najis, yakni: Pertama: Air tenang yang bila digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak. Kedua: Air mengalir dengan jalan apapun. Adapun air sedikit yang tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis, maka keadaannya seperti air tenang yang jumlahnya sedikit, yang jika digerakkan di satu bagian, bagian lain-nya ikut bergerak. Mazhab Syafi’i tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak ialah dua kullah: Bila bersentuhan dengan najis ia tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua kullah akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan hadis: “Apabila air sebanyak dua kullah, ia tidak membawa najis. “ Syafi’i berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua kullah dan tidak berubah walaupun ia bercampur barang najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai dua kullah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis, sedangkan yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan pendapat antara Syafi’i dan Hanafi dalam hal air mengalir itujauh sekali. Hanafi berpendapat, bahwa “mengalir” itu walaupun sedikit, ada sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di muka: Yakni sebuah bejana yang berisi air bersih, dan bejana lain yang berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur denganjalan dialirkan. Sedangkan Syafi’i tidak memperlihatkan jalan bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syafi’i, sekalipun sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis tetap najis hukumnya. Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari bagian lainnya. Hambali berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan benda najis, kecuali berubah. Hukum-nya seperti air yang jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan pendapat Hanafi. Adapun Maliki, seperti telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan de­ngan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnya, mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik sedikit mau” pun banyak, memancar atau tidak.Imamiyah berkata: Tidak ada tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak. Jika air itu berhubungan dengan air pancaran (mata air) walaupun perlahan maka dianggap air itu sama hu­kumnya seperti air banyak. la tidak menjadi najis dengan bersen­tuhan dengan najis, walaupun jumlah air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada kekuatan pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan dengan mata air, maka jika jum­lahnya satu karra (dua kullah) tidak menjadi najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali jika berubah salah satu sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai satu karra, maka air itu menjadi najis bila bersentuhan dengan najis, baik ia mengalir ataupun tidak. Hanya saja, apabila mengalir, bagian atas air itu tidaklah najis.  Air Menyucikan NajisApabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imam Syafi’i berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua kullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, danjika air itu dipisahkan ,tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah, maka air tersebut suci dan menyucikan.6 Hambali dan kebanyakan fuqaha Imamiyah berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya menjadi dua kullah, baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena mengumpulkan air najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci. Begitu pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis. Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau dengan air pancaran menurut mazhab Imamiyah, sedangkan mazhab Hambali mewajibkan sampai dua kullah. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis, maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi. Imamiyah berkata: Jika tidak ada mata air pada air yang banyak itu, maka tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya; bahkan setelah hilang perubahannya kita masih harus memasukkan satu karra air suci ke dalamnya, atau menghubungkannya dengan mata air, atau ia bercampur sendiri dengan air hujan. Jika pada air itu ada mata air, maka ia suci dengan hilangnya perubahan yang terjadi, sekalipun sedikit. Maliki berpendapat: Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga hilang sifat najis itu. Hanafi berpendapat: Air yang najis itu menjadi bersih dengan cara mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam bejana, ke­mudian dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari tepi-tepinya, maka menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di dalam kolam atau lubang, kemudian digali lubang lain meskipun jaraknya dekat, dan dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga semua air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci. Jika air kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang lain dan mengalir­kannya hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu seterusnya. Oleh karena itu, air yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhu ketika ia tenang, dapat anda gunakan dengan cara mengalirkannya dengan cara apapun. Bahkan,jika ada bangkai sekalipun didalamnya, atau orang kencing di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air itu mengalir dan diketahui bahwa air itu tidak berhubungan dengan mata air, jika dialirkan, maka air itu menjadi suci. Najis-Najis
  1. Anjing: najis, kecuali mazhab Maliki yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali ber­kata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Imamiyah ber­kata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air.

  1. Babi: Semua mazhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan mernbasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali de­ngan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).

  1. Bangkai: Semua mazhab sepakat, bahwa bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakannya suci. Hanafi berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. Begitu juga pendapat Imamiyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan semua mazhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci.

  1. Darah: Keempat mazhab sepakat bahwa darah adalah najis ke­cuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tinggi) Imamiyah berkata: Semua darah hewan yang darahnya mengalir, juga darah manusia yang mati syahid atau bukan, adalah najis. Sedangkan darah binatang yang tidak me­ngalir darahnya, baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada persembelihan, hukumnya suci.

  1. Mani: Imamiyah, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imamiyah mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imamiyah berpendapat, rnani dan darahnya suci, Syafi’i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi, Hambali berpendapat mani anak Adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.

  1. Nanah: Najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.

  1. Kencing: Air kencing dan kotoran anak Adam adilah naps me­nurut semua mazhab.

  1. Sisa Binatang: Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang daging­nya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang da­gingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang da­gingnya tidak dimakan misalnya serigala, dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan ko­toran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu, semuanya najis. Imamiyah berkata: Sisa-sisa burung yang dagingnya di­makan ataupun tidak, semuanya suci; begitu juga hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya dimakan maupun tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya tidak dimakan seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya najis. Dan setiap binatang yang dagingnya diragukan halal-haramnya, maka sisanya suci hukumnya. Hanafi berkata: Sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisa­nya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis. Hambali dan Syafi’i berkata: Sisa-sisa binatang yang daging­nya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis.

  1. Benda cair yang memabukkan: Adalah najis menurut semua mazhab. Tetapi Imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada upaya menjadikan benda memabukkan yang cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal hukumnya tetap najis. Ada baiknya jika kita petik kata-kata salah seorang pengarang fuqaha Imamiyah: Ulama Sunnah dan Syi’ah sepakat tentang najisnya arak, kecuali sebagian dari kami dan sebagian dari mereka yang menyalahi ketentuan ini, dan mereka tidak diakui oleh kedua kelompok.

  1. Muntah: Hukumnya najis menurut empat mazhab dan suci me­nurut Imamiyah.

  1. Madzi dan Wadzi: Keduanya najis menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, serta suci menurut mazhab Imamiyah.
 Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis.Madzi adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing. Empat mazhab berpendapat bahwa muntah, madzi dan wadzi hukumnya najis, sedangkan Imamiyah berpendapat tidak. Bahkan Imamiyah satu-satunya mazhab yang berpendapat bahwa peluh orang yang junub, baik junub karena zina, liwat, dengan binatang, atau berusaha mengeluarkan mani dengan cara apa-pun, adalah najis. Sisa Air dalam BejanaHanafi, Syafi’i dan Hambali berkata: Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Mereka juga sepakat bahwa sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan. Hambali berkata: Tidak boleh berwudhu dengan sisa air dari semua binatang yang daging-nya tidak dimakan kecuali kucing hutan dan yang lebih kecil darinya seperd tikus dan Ibnu Am (hampir sama dengan tikus). Hanafi menghubungkan sisa anjing dan babi itu dengan sisa peminum arak segera setelah ia meminumnya. Begitu juga halnya sisa kucing setelah makan tikus, sisa binatang buas seperti singa, serigala, harimau binatang dan harimau belang, musang, dan al-dhubu”77 Ibnu Abidin, I: 156. Imamiyah berkata: Sisa air yang diminum binatang najis seperti babi dan anjing hukumnya najis. Sisa air yang diminum binatang bersih hukumnya suci, baik binatang yang dagingnya dimakan maupun tidak. Maliki berkata: Sisa air yang diminum anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum.8 Hukum Khalwat Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa menghadap Kiblat atau membelakanginya ketika berhajat, dalam lindungan atau tempat lapang yang ada pelindungnya, hukumnya tidak haram. Mereka berselisih pendapat tentang berhajat di tempat lapang yang tidak terlindung.  Syafi’i dan Hambali berpendapat tidak haram, sedangkan Maliki berpendapat haram. Hanafi berpendapat, bahwa makruh berhajat di dalam ruangan dan haram berhajat di tempat lapang sehubungan dengan membelakangi atau menghadap Kiblat. Imamiyah berkata: Haram menghadap Kiblat dan membela­kanginya baik dalam ruangan atau di tempat lapang, ada pelindung ataupun tidak. Semua mazhab sepakat bahwa air yang suci itu dapat menyu­cikan najis dari tempat keluar kencing dan tinja.  Empat mazhab berpendapat bahwa batu memadai untuk membersihkan keduanya. Imamiyah berpendapat: Tidak memadai menyucikan tempat keluar kencing kecuali dengan air. Adapun tempat keluar tinja, da­pat memilih di antara basuhan air dan sapuan dengan tiga biji batu atau potongan-potongan kain kecil yang suci, hal ini (pilihan yang kedua) dilakukan jika najis itu tidak mengalir dari tempat keluarnya, jika mengalir maka hendaknya dibersihkan dengan air.9 Batu dan sejenisnya untuk menyapu itu jumlahnya dipastikan pada mazhab Imamiyah, Syafi’i dan Hambali, walaupun dengan kurang dari tiga biji sudah bersih. Tetapi Maliki dan Hanafi tidak menganggap jumlah batu itu sebagai syarat, hanya saja ia mengharuskan menyuci­kan najis dari tempat keluarnya, dengan benda cair yang bersih selain air. end

kajian I Lima Mashab

BAB 01 – THAHARAH

 Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah. Tidaklah berlebihan jika saya katakan, tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya menjadi suci.” Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT:“… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu …. ” (Q.S. Al-Anfal : 11) “… dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ….” (Q.S. Al-Furqan: 48) Thahur (pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu: a.                    Air Muthlaq dan Air Musta’mab.                    Air Mudhaf. Air MuthlaqAir muthlaq ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya. Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang berbunyi: “Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya.” Air Musta’malApabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta’mal. Air semacam itu hukumnya najis, ka­rena telah bersentuhan dengan benda najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis. Para ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jia tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.  Air musta’mal telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum ‘at, hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta’mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang. Catatan:Apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi’i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta’mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.1

Selasa, 04 Februari 2014

LATIHAN SOAL UJIAN NASIONAL 2014

(UN) SMP/MTs dan SMPLB tahun 2014 dijadwalkan tanggal 5 Mei 2014. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan waktu pelaksanaan UN disesuaikan dengan kegiatan nasional salah satunya pemilu legislatif yang digelar 9 April 2014.
Untuk membantu para peserta Ujian Nasional tingkat SMP/MTs sederajat kami sampaikan latihan soal UN SMP/MTs yang bisa di download secara gratis!

Berikut latihan soal UN SMP/MTsA tahun 2014, yang sudah bisa diunduh :
  1. Latihan Soal Bahasa Indonesia UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  2. Jawaban Latihan Soal Bahasa Indonesia UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  3. Latihan Soal Bahasa Inggris UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  4. Jawaban Latihan Soal Bahasa Inggris UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  5. Latihan Soal IPA UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  6. Jawaban Latihan Soal IPA UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  7. Latihan Soal Matematika UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
  8. Jawaban Latihan Soal Matematika UN SMP/MTs | Silakan unduh disini
UN SMP/MTs merupakan singkatan dari Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama (disingkat SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sekolah Menengah Pertama (disingkat SMP) merupakan jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (atau sederajat). Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini pernah disebut sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).
Semoga Latihan Soal Ujian Nasional SMP/MTs Tahun pelajaran 2013/2014 yang kami sampaikan dapat membantu para siswa menghadapi ujian nasional tahun 2014. Amin Ya Allah Ya Rabbal Alamin!

Sabtu, 01 Februari 2014

SKI

BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya setiap penulisan ulang mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa-masa khulafaurrasyidin ataupun sejarah-sejarah lain adalah terbuka dan milik semua orang. Asalkan bisa memahami dan bisa mengaplikasikannya secara sistematis dan inofatif.
Tema besar penulisan makalah ini akan lebih banyak menelusuri mengenai akar-akar Sejarah Peradaban Islam pada masa Khulafaurrasyidin. Karena nilai-nilai positif Sejarah Peradaban Khulafaurrasyidin tidak lagi dijadikan teladan oleh orang-orang Islam.
Fenomena yang sangat menyedihkan, mayoritas orang-orang Islam saat ini lebih banyak mengadobsi budaya/peradaban orang-orang non muslim. semua itu merupakan cerminan bagi potret perkembangan di masing-masing kawasan Dunia Islam yang terus menerus menunjukkan dinamikanya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperkaya nuansa dan pengembangan wawasan dalam studi Sejarah Peradaban Islam.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, fungsi sebagai rasullah tidak dapatdigantikan oleh siapa pun manusia di dunia ini, karena pemilihan fungsi tersebutadalah mutlak dari Allah SWT. Fungsi beliau sebagai kepala pemerintahan danpemimpin masyarakat harus ada yang menggantinya. Selanjutnya pemerintahanIslam dipimpin oleh empat orang sahabat terdekatnya, kepemimpinan dari parasahabat Rasul ini disebut periode Khulafaur-Rasyidin (para pengganti yangmendapatkan bimbingan ke jalan lurus. Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa Khalifah Khulafaur-Rasyidinadalah masa yang penting dalam sejarah Islam. Khulafaur-Rasyidin berhasilmenyelamatkan Islam, mengkonsolidasi dan meletakkan dasar bagi keagunganumat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Khulafaur Rasyidin.
Kata khulafaurrasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa dan rasyidin, khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu di sebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yanng mengganti kedudukan rasullah SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang menepati apa yang telah ditentukan oleh batas-batanya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama islam.
Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi khulafaurrasyidin mempunyai arti pemimpim yang bijaksana sesudah nabi muhammad wafat. Para khulafaurrasyidin itu adalah pemimpin yang arif dan bijaksana. Mereka tiu terdiri dari para sahabat nabi muhammad SAW yang berkualitas tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki khulafaurrasyidin sebagai berikut:
a.       Arif dan bijaksana
b.      Berilmu yang luas dan mendalam
c.       Berani bertindak
d.      Berkemauan yang keras
e.       Berwibawa
f.       Belas kasihan dan kasih sayang
g.      Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan hukum-hukum islam.
Para sahabat yang disebut khulafaurrasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
1.      Abu bakar Shidik khalifah yang pertama (11 – 13 H = 632 – 634 M)
2.      Umar bin Khattab khalifah yang kedua (13 – 23 H = 634 – 644 M)
3.      Usman bin Affan khalifah yang ketiga (23 – 35 H = 644 – 656 M)
4.      Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat (35 – 40 H = 656 – 661 M)[1]


2.1.1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634M).
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tammi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama (orang yang paling awal) masuk Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai pristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi.[2]
A.    Langkah-langkah kebijakan Abu Bakar
1.      Menumpas nabi palsu
2.      Memberantas kaum murtad
3.      Menghadapi kaum yang ingkar zakat
4.      Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qu’an
Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qu’an. Pada saat pertempuran di Ajnadain negeri syam berlangsung, khalifah Abu Bakar menderita sakit. sebelum wafat, beliau telah berwasiat kepada para sahabatnya, bahwa khalifah pengganti setelah dirinya adalah umar bin Khattab. hal ini dilakukan guna menghindari perpecahan diantara kaum muslimin.
Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, para sahabat langsung mengadakan musyawarah untuk menentukan khakifah selanjutnya. telah disepakati dengan bulat oleh umat Islam bahwa Umar bin Khattab yang menjabat sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar. piagam penetapan itu ditulis sendiri oleh Abu Bakar sebelum wafat.
Setelah pemerintahan 2 tahun 3 bulan 10 hari (11 – 13 / 632 – 634 M),khalifah Abu Bakar wafat pada tanggal 21 jumadil Akhir tahun 13 H / 22 Agustus 634 Masehi.[3]

B.     Manajemen Pemerintahan Abu Bakar (Wilayah Provinsi dan Gubernur).
Di masa pemerintahan Khalifah pertama, masih terdapat pertentangan dan perselisihan antara Negara Islam dan sisa-sisa kabilah arab yang masih berpegang teguh pada warisan jahiliyah “Tentang memehami agama Islam”. Namun demikian, kegiatan (proses) pengaturan manajemen pemerintan Khalifah Abu Bakar telah dimulai. Wilayah Jazirah Arab dibagi menjadi beberapa provinsi, wilayah Hijah terdiri dari 3 provinsi, yakni Makkah, Madinah dan Thaif. Wilayah Yaman terbagi menjadi 8 provinsi yang terdiri dari Shan’a, Hadramaut, Haulan, Zabid, Rama’, al-Jund, Najran, Jarsy, kemudian Bahrain dan wilayah sekitar menjadi satu provinsi.
Adapun para gubernur yang menjadi pemimpin di provinsi tersebut adalah Itab bin Usaid, Amr bin Ash, Utsman bin Abi al-‘Ash, Muhajir bin Abi Umayah, Ziyad bin Ubaidillah al-Anshari, Abu Musa al Asy’ari, Muadz bin Jabal, Ala’ bin al-Hadrami, syarhabi bin Hasanah, Yazid bin Abi Sufyan, Khalid bin walid dan lainnya. Diantara tugas para gubernur adalah mendirikan shalat, menegakkan peradilan, menarik, mengelola dan membagikan zakat, melaksanakan had, dan mereka memiliki kekuasaan pelaksanaan dan peradilan secara simultan.[4]   

2.1.2.      Umar bin Khaththab (13-23H/634-644M)
Umar bin Khaththab nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisi dari suku Adi; salah satu suku terpandang mulia. Umar dilahirkan di mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani.[5]
Beberapa keunggulan yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati dikalangan masyarakat Arab, sehingga kaum Qurais memberi gelar ”Singa padang pasir”, dan karena kecerdasan dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu Faiz”.
Itulah sebabnya pada saat-saat awal penyiaran Islam, Rasulullah SAW bedoa kepada Allah, ”Allahumma Aizzul Islam bi Umaraini” artinya: ”Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah satu dari dua Umar” yang dimaksud dua Umar oleh Rasulullah SAW adalah Umar bin Khattab dan Amru bin Hisyam (nama asli Abu Jahal).
Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai Khalifah itu merupakan fenomena yang baru, tapi haruslah dicatat bahwa proses pralihan kepemimpinan tetap dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk menjajagi pendapat umum, Khalifah Abu Bakar melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa sahabat, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan. Setelah mendapat persetujuan dari para sahabat dan baiat dari semua anggota masyarakat Islam Umar menjadi Khalifah. Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan orng-orang beriman).
Di jaman pemerintahan Umar pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahaan yang handal untuk melayani tuntunan masyarakat baru yang terus perkembang. Umar mendirikan beberapa dewan yaitu : membangun Baitul Mal, Mencetak Mata Uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal batas, mengatur gaji, mengangkat para hakimdan menyelenggarakan “hisbah”.
Khalifah Umar jaga meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekuasaan bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu  sehinnga tidak ada perbedaan antara pengusa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat.
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainnya kemaslahatan umat Islam. Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4hari. Kematiannya sangt tragis, seorang budak Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam ke arah khalifah yang akan menunaikan shalat subuh yang telah di tunngu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi di pagi buta itu. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah pristiwa penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23H/644M.[6]
Atas persetujuan Siti Aisyah istri rasulullah Jenazah beliau dimakamkan berjajar dengan makam Rasulullah dan makam Abu Bakar. Demikianlah riwayat seorang khalifah yang bijaksana itu dengan meninggalkan jasa-jasa besar yang wajib kita lanjutkan.

A.    Manajemen Pemerintahan Umar bin Khattab
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab r.a. sudah di peraktikkan konsep dasar hubungan antara negara dan rakyat, pentingnya tugas pegawai pelayanan politik dan menjaga kepentinggan rakyat dari otoritas pemimpin. Umar r.a. melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dengan kekusaan eksekutif, beliau memilih hakim dalam sistem peradilan yang independen guna memutuskan persoalan masyarakat. Sistem peradilan ini terpisah dari kekusaan eksekutif, dan ia bertanggung jawab terhadap khalifah secara langsung.[7]

2.1.3.      Utsman bin Affan (23-36H/644-656M).
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sedehana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putri Nabi SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal. Dan Utsman pernah meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis. Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi Khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tiadak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.
A.    Pencapian Pada Masa Pemerintahan Utsman.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perlusan wilayah kekusaan Islam. Daerah-daerah sterategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak. Karya monumental Utsman yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci Al-Qur’an.
Penyusunan Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an antara lain Adalah dari Hafsah, salah seorang Istri Nabi SAW. Kemudian dewan itu membuatbeberapa salinan naskah Al-Qur’an untuk dikirimkan ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.[8]
B.     Manajemen Pemerintahaan Utsman bin Affan.
Khalifah Utsman r.a. berusaha menjaga dan melestarikan sistem pemerintahaan yang telah ditetepkan oleh Khalifah Umar r.a. surat yang dituliskan khalifah Utsman mencerminkan pelestarian tersebut : “khalifah Umar r.a. telah menentukan beberapa sistem yang tidak hilang dari kita, bahkan melingkupi kehidupan kita. Dan tidak ditemukan seorang pun di antara kalian yang melakukan perubahaan dan penggantian. Allah yang berhak mengubah dan menggantinya.”
Di awal kekhalifahannya, umur Utsman r.a. relatif tua. Akan tetapi, di saat umur khalifah melebihi 70 tahun, beliau masih sanggup memberangkatkan pasukan perang.
Bentuk manajemen yang ditetapkan dalam pemerintahaan Umar r.a. tercermin dalam pengumpulan mushaf Al-qur’an menjadi satu di kenal dengan Mushaf Utsmani. Pada masa kekhalifahan Utsman r.a. terdapat indikasi praktik nepotisme. Hal ini yang membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan Utsman r.a. karena telah memilih keluarga kerabat sebagai pejabat pemerintahaan.[9]
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh trakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Pada tahun 35H/655M, Usman di bunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang kecewa itu.[10]
Pembunuhan usman merupakan malapetaka besar yang menimpa ummat Islam. Dikalangan ummat Islam yang diturunkan melalui Muhammad yang berbahasa Arab (sehingga perwujudan islam pada masa awalnya bercorak Arab) dengan alam pemikiran yang dipengaruhi kebudayaan Helinesia dan persi. Pembenturan itu membawa kegoncanggan dan kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut :
a.       Bidang Bahasa Arab.
b.      Bidang Akidah.
c.       Bidang Politik.[11]


2.1.4.      Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat (35 – 40 H = 656 – 661 M).
Khlifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dan menantu Nabi. Ali adalah putra Abi Thalid bin Abdul Muthalib. Ali adalah seseorang yang memiliki kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasehat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung dan pemegang teguh tradisi, seorng sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad.[12]
A.    Gelar-gelar yang disandang oleh Ali antara lain:
“Babul Ilmu” gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadistv v Zulfikar karena pedangnya yang bermata,juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperole kemenangan. v “Karramallahu Wajhahu” gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya. v “Imamul masakin” (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan. v Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.[13]
B.     Proses dan Khalifahan Ali bin Abi Thalib.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan setabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang di angkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali siatem distribusi pajak tahunan dia antara orang-orang Islam sebagaimana pernah ditetapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakkan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “Perang Jamal (Unta)” Karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[14]
C.    Manajemen Pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. menjalankan system pemerintahaan sebagaimana Khalifah sebelumnya, baik dari segi kepemimpinan ataupun manajemen. Dalam mengangkat seorang pemimpin, beliau mendelesiasikan wewenang dan kekuasaan atas wilayah yang dipimpinnya. Seorang memiliki kewenangan penuh untuk mengelola wilayah yang dikuasainya, namun khalifah tetap melakukan pengawasan terhadap kinerja pemimpin tersebut. Khalifah senantiasa mengajak pegawainya untuk untuk hidup Zuhud, berhemat dan sederhana dalam kehidupan, begitu juga untuk selalu memperhatikan dan berbelas kasihan terhadap kehidupan rakyatnya. Beliau juga mengjarkan system renumirasi. Selain itu, beliau juga konsisten terhadap kepentingan masyarakat secara umum.[15]
D.    Peristiwa Tahkim dan Dampaknya
Akibat terjadinya perselisihan pendapat dalam pasukan Ali, maka timbullah golongan Khawarij dan Syi’ah. Khawarij adalah golonga yang semula pengikut Ali , setelah berhenti perang Siffin mereka tidak puas, dan keluar dari golongan Ali, karena mereka ingin melanjutkan peperangan yang sudah hampir menang, dan mereka tidak setuju dengan perundingan Daumatul Jandal.
Mereka berkomentar mengapa harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat bertahkim kecuali allah. Maksudnya tidak ada hukumselain bersumber kepada Allah. khawrij menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang melaksanakan hukum tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir.
Sebaliknya golongan kedua Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah) memberi tanggapan bahwa tidak menutup kemungkinan kepemimpinan Muawwiyah bertindak salah, karena ia manusia biasa, selain itu golongan Syi’ah beranggapan bahwa hanya Ali satu-satunya yang berhak menjadi Khalifah.
Mengingat perdebatan ini tidak titik temunya dan mengakibatkan perundingan Daumatul Jandal gagal sehingga perdamaian tidak terwujud.
E.     Ali bin Abi Thalib Wafat
Kaum Khawarij tidak lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Isalam, dan mereka berpendapat bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam, yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian kaum Khawarij membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam satu saat, bila hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian tekad mereka. “Saya membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh Muawwiyah”, sambut Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”, demikian kesanggupan Amr bin Bakr Attamimi.
Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat.
Khalifah Ali wafat dalam usia 58 tahun, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang berkedudukan di Kufah.[16]

2.2. KEMAJUAN PERADABAN PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN
Masa kekuasaan khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekusaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad SAW yang telah meletakkan dasar agama Islam di arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi kekuasaan Islam menembus luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika, Syiria, Persia, bahkan menembus ke Bizantium dan Hindia.
Ekspansi ke negri-negri yang sangat jauh dari pusat kekusaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain sebagai berikut :
1.      Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur humbungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.      Dalam dada para sahabat Nabi SAW tertanam keyakinan yang sangat kuat tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) keseluruh penjuru dunia.
3.      Bizaitun dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negri masing-masing.
4.      Pertentangan aliran agama di wilayah Bizaitun mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
5.      Islam datang kedaerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6.      Bangsa sami di Syiria dan palestina, dan bangasa Hami di Mesir memandang bangsa Arab  lebih dekat daripada bangsa Eropa, Bizantiun, yang merintah mereka.
7.      Mesir, Syiria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan intu membantu pengusa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.[17]

Pada masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di antaranya adalah muculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut :
1.      Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpulkan dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar.
2.      Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3.      Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berIslam  pada penduduk negri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Utsman dikirim ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al-Qur’an dan As-sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4.      Sebagai orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19 banyak mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah dan menafsirkan dengan motif baiduwi.
5.      Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahaan antara dakwah dan Negara, antara da’I maupun panglima.
Dr. Hasan Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam As-Siyasi”, menjelaskan bahwa organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Negara yang ada pada masa Khulafaur rasyidin, diantaranya sebagi berikut :
1.      Lembaga Politik.
2.      Lembaga Tata Usaha Negara.
3.      Lembaga Keuangan Negara.
4.      Lembaga Kehakiman Negara.
Peristiwa-peristiwa Penting Pada Masa Khulafaur rasyidin[18]
Tahun
Pristiwa
Masa kekusaan Khlifah
11H
Rasullah SAW wafat (Rabiul Awal)
Abu Bakar Ash-shiddiq
12H
Perang Riddah

13H
Perang Yarmuk

13H
Abu Bakar Wafat (jumadil akhir)

14H
Penaklukan Damaskus
Umar bin Khathab
15H
Pearang Qadisiyah

17H
Penaklukan Persia

20H
Penaklukan Mesir

21H
Perang Nahawand

23H
Penaklukan Khurasan, Persia

27H
Penaklukan Tarablusi dan Afrika
Utsman bin Affan
28H
Penaklukan Cyprus

31H
Perang Dzatu Sawari

32H
Khurasan Kembali dilakukan

35H
Utsman wafat

36H
Perang Jamal
Ali bin Abi Thalib
37H
Perang Siffin dan Tahkim

38H
Perang Nahawand

41H
Ali bin Abi Thalib wafat


2.2.1.      Pembarui Organisasi Negara
Pada masa Rasul, sesuai dengan keadaannya, oranisasi negara masih sederhana. Tetapi ketika masa khalifah Umar, di mana ummat islam sudah terdiri dari macam-macam bangsa dan urusannya makin meluas, maka disusunlah organisasi negara sebagai berikut:
A.     Organisasi Politik yaitu terdiri :
a)      Al-Khalifaat, (Kepala Negara).
Dalam memilih kepala negara berlaku sistem “bai’ah”. Pada masa sekarang mungkin sama dengan sistem demokrasi. Hanya waktu itu sesuai dengan al-amru syuro bainahun sebagimana yang digariskan Allah dalam Al-Qur’an.
b)      Al-Wazaraat, (Menteri).
Khalifah Umar menetapkan Usman sebagai pembantunya untuk mengurus pemerintahan umum dan kesejahteraan, sedangkan Ali untuk mengurus kehakiman, surat-menyurat dan tawanan perang.
c)      Al-Kitabaat, (sekretaris Negara)
Umar bin Khattab mengkat Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Arqom menjadi sekretaris untuk menjelaskan urusan penting. Usman bin Affan juga mengangkat Marwan bin Hakam.

B.     Admistrasi Negara.
Sesuai dengan kebutuhan, khalifah Umar bin Khatab menyusun administrasi negara menjadi :
a)      Diwan-diwan (Departemen-departemen) :

1)      Diwan al-Jundiy/Diwan al-Harby (Badan Pertahanan Keamanan)
Orang muslim pada masa Rasul dan Abu Bakar semuanya adalah perajurit “ketika perang”. Namun perang telah selesai dan ghanimah telah dibagikan, mereka kembali penduduk sipil.
Pada masa Umar keadaan telah berubah, disusunlah satu badan yang mengurusi Tentara. Disusunlah angkatan bersenjata khusus, asrama, latihan militer, kepangkataan, gaji, persenjataan dan lain-lain. Mulai juga membangun angkataan laut oleh Muawiyah (Gubernur Syam) dan oleh Ali bin Hadharamy (Gubernur Bahrain).
2)      Diwan al-Kharaj/Diwan al-Maaly/Bait al-Maal (Mengurusi keuangag Negara).
Digunakan untuk mengurusi pemasukan dan pengeluaran anggaran belanja negara. Sumber pemasukan keungan negara islam adalah :
·    Al-Kharaj (Pajak hasil bumi)
·    Al-usyur (10% dari pedagang dan kapal-kapal orang asing yang datang ke negara Islam “bea cukai”.
·    Al-zakah (zakat harta 2,5% dari harta yang sampai nisab)
·    Al-jizyah (pajak ahli dzimmah, “orang bukan islam yang bertempat tinggal di negara Islam”.
·    Al-fai dan ghanimah (uang tebusan dari orang musyrik yang kalah perang dan harta rampasan perang.
3)      Diwan-al-Qudhat (departemen kehakiman).
Umar mengkat hakim-hakim khusus untuk tiap wilayah dan menetapkan persyaratannya.
C.     Al-Imarah ‘ala al-buldan (Administrasi pemerintahan dalam Negri).
a)      Negara dibagi menjadi beberapa provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (amil), yaitu :
§  Ahwaz dan Bahrain
§  Sijistan, Iraq, Makran dan Karman.
§  Syam, Palestina, Mesir, Padang Sahara Libia.
b)      Al-Barid : perhubungan, kuda pos memakai kuda pos.
c)      Al-Syurthah : polisi penjaga keamanan negara.

D.     Mengembangkan Ilmu
Kelanjutan meluaskan islam ada dua gerakan perpindahan manusia, “orang Arab Muslim keluar Jaziriah Arab, orang Ajam datang ke jaziriah Arab”. Dua gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, baik positif maupun negatif. Orang Ajam yang berasal dari luar Jazirah Arab adalah bangsa yang pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa Arab. Walaupun nyala api ilmu pengetahuan mereka hampir padam, namun bekasnya masih nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat perkembangan kebudayaan yunani seperti Iskandariyah, Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur.[19]
2.2.2.      Tanggung Jawab Negara yang pokok.
Prinsip persamaan di bidang ekonomi ini merupakan dasar masyarakat Islam dan merupakan suatu jaminan untuk mempertahankan keseimbangan. Cirri utama dan prinsip jaminan masyarakat dari kebijakan ini dirumuskan sebagai berikut :
a.       Hak Kaum Miskin.
b.      Larangan menumpuk Harta.
c.       Setiap orang membayar sesuai dengan kemampuan.
d.      Setiap orang (dibantu) sesuai kebutuhannya
e.       Jaminan social.
f.       Cadangan social.

2.2.3.      Pembayaran Bantuan Keuangan.
Prinsip jaminan social telah di mulai dan dijalankan pada mas Khulafah Umar dan dibentuk pula departemen-departemen lain untuk mendistribusikan uang bantuan dan sumbangan kepada masyarakat dan lain-lain yang dilakukan untuk tujuan tersebut. Departemen-departemen yang dibentuk antara lain :
a.       Departemen pelayanan militer.
b.      Departemen kehakiman dan eksekutif.
c.       Departemen pendidikan dan pengembangan Islam
d.      Departemen jaminan social.
e.       Jamin social untuk semua.[20]


BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah di pilih berdasarkan musyawarah. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui pertemuan saqifah atas usulan umar. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta munculnya kamum murtad Musailimah bin kazzab beserta pengikutnya menolak. membayar zakat dan murtad dari islam yang mengakibatkan terjadinya perang Yamamah. Pasukan islam dipimpin Khalid bin Walid berusaha menumpas kaum ingkar zakat yang dipimpin Musailamah bin Kazzab tersebut hingga mengakibatkan banyak sahabat yang gugur termasuk 70 penghafal Al-Qur’an. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 H.
Umar yang tahu akan hal itu merasa khawatir akan kelestarian Al-Qur’an hingga dia mengusulkan kepada Abu Bakar agar membukukan/mengumpulkan mushaf yang ditulis pada masa nabi menjadi satu mushaf Al-Qur’an. Mushaf yang sudah terkumpul disimpan oleh Abu Bakar, ketika Abu Bakar sakit dia bermusyawarah dengan para sahabat untuk menggantikan beliau menjadi khalifah pada masa Umar gelombang exspansi pertama terjadi. Umar membagi daerah kekuasaan islam menjadi 8 propinsi yaitu : Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kofah, Palestina, dan Mesir. Umar membentuk panitia yang beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah satu diantaranya menjadi khalifah setelah Umar wafat. Panitia berhasil mengangkat Utsman menjadi khalifah. Pada masa pemerintahan utsman wilayah islam meluas sampai ke Tripoli barat, Armenia dan Azar Baijan hingga banyak penghafal Al-Qur’an yang tersebar dan tarjadi perbedaan dialek, yang menyebabkan masalah serius. Utsman membentuk tim untuk menyalin Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar, tim ini menghasilkan 4 mushaf Al-Qur’an dan Utsman memerintahkan untuk membakar seluruh mushaf selain 4 mushaf induk tersebut.
Utsman dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat dari kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman wafat umat islam membaiak Ali menjadi khalifah pengganti utsman, kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman, karena merasa tuntutannya tidak dilaksanakan Bani Umayah dibawah pimpinan Mu’awiyah memberontak terhadap pemerintahan Ali. Perang Sifin mengakibatkan perpecahan pada kelompok Ali. Dipenghujung pemerintahan Ali umat islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu, Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali). Setelah Ali meninggal, ia diganti oleh anaknya, Hasan. Hasan mengadakan perundingan damai dengan Mu’awiyah dan umat islam dikuasai oleh Mu’awiyah. Dengan begitu berakhirlah pemerintahan yang berdasarkan pemilihan (khulafaur rasyidin) berganti dengan sistem kerajaan).
3.2.Saran.
Kami bangga sekaligus kagum atas perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Khulafaurrasyidin. Mereka melakukan ekspansi, pemberantasan kaum murtad, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang membuahkan hasil cemerlang bagi Agama Islam. Tapi yang di sayangkan pada masa pemerintahan salah satu dari Khulafaurrasyidin ialah: Para aparatur Negara di ambil dari kalangan keluarga Khalifah, dan ketidak tegasan dalam memutuskan/menyelesaikan masalah, hal tersebut yang menyebabkan perpecahan dan pemberontakan di kalangan umat Islam, sehingga berdampak negatif di era globalisasi ini.



[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta : Amzah, 2009). hlm. 93-94.
[4] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Hlm.37-38.
[5] Samsul Munir Amin, Opcit . hlm. 98.
[6] Ibid. hlm. 98-104.
[7] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Opcit.  hlm. 38-39.
[8] Samsul Munir Amin,Opcit. Hlm. 104-106.
[9] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Opcit.  hlm. 44-46.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993).  Hlm. 38.
[11] Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media). Hlm.32-33.
[12] Samsul Munir Amin, Lockcit.Hlm. 109.
[14] Ibid. hlm. 39-40.
[15] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Lockcithlm. 48-49.
[17] Samsul Munir Amin, Lockcit. hlm. 113-114.
[18]Ibid. hlm. 113-117
[19] Musyrifah Susanto, Lockcit,Hlm. 29.
[20] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 166-173.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Samsul Munir, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta : Amzah, 2009.
Rahman Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Sinn Ahmad Ibrahim Abu, Manajemen Syariah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Susanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur: Prenada Media
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993.