kajian I Lima Mashab
BAB 01 – THAHARAH
Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah. Tidaklah berlebihan jika saya katakan, tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli
fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis
jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi
berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk
melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan
tayammum. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari
najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah
dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin
dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya
menjadi suci.” Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT:“… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu …. ” (Q.S. Al-Anfal : 11) “… dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ….” (Q.S. Al-Furqan: 48) Thahur
(pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan
yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak
sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu: a. Air Muthlaq dan Air Musta’mab. Air Mudhaf. Air MuthlaqAir muthlaq
ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari
langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air
telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang
mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah
karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab
yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat
yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya. Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq
itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu
bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang berbunyi: “Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya.” Air Musta’malApabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta’mal.
Air semacam itu hukumnya najis, karena telah bersentuhan dengan benda
najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak
dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis. Para
ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh
bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu
berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang
dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jia
tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan
melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang
bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa
tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang
terpisah dari tempat itu hukumnya najis. Air musta’mal telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum ‘at,
hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu
dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis.
Adapun air musta’mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah
sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat
tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan
berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang. Catatan:Apabila orang yang berjunub
menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang
terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi’i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta’mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar